puisi waktu karya ws rendra

LaguSerdadu merupakan puisi perjuangan lainnya karya WS Rendra. Puisi ini menceritakan dimana kehormatan yang diberi kepada para pejuang yang berangkat perang meninggalkan keluarganya. Bait yang berbunyi 'Ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang' membuktikan tentang tak adanya pilihan untuk berangkat perang. Waktuia pulang dan mulai tampil dengan "Bib-Bob" yang menggemparkan itu, ternyata Rendra sudah jadi. Adapun beberapa karya hebat Rendra yaitu, Balada Orang-Orang Tercinta (1957), 4 Kumpulan Sajak (1961), Blues untuk Bonie (1971), Sajak-Sajak Sepatu Tua (1972), Nyanyian Orang Urakan (1985), Potret Pembangunan dalam Puisi (1983), Disebabkan oleh Jarijari waktu menggamitku. Aku menyimak kepada arus kali. Lagu margasatwa agak mereda. Indahnya ketenangan turun ke hatiku. Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku. * Boleh Baca: Kumpulan Puisi Bertema Hari Kebangkitan Nasional Karya Taufik Ismail. Puisi 3: Sajak Sebatang Lisong. Karya W.S. Rendra. Menghisap sebatang lisong melihat bacapuisi | sagu ambon | karya ws rendra | dibacakan oleh kak pachedalam kegiatan sajak teras kolaka#23"tanah air, merdeka!"di cafe distric cafe kolaka KETIKAENGKAU BERSEMBAHYANG karya Emha ainun najib Ketika engkau bersembahyang oleh takbirmu pintu langit terkuakan partikel ud SAJAK MATA-MATA karya WS Rendra SAJAK MATA MATA karya WS RENDRA ada suara bising di bawah tanah. Site De Rencontre Emirats Arabe Unis. Friday, February 06, 2015 Puisi tentang waktu akan berjalan. Pengertian waktu adalah seluruh rangkaian saat ketika proses suatu perbuatan, atau keadaan berada atau berlangsung. seperti kata waktu cepat berlalu atau waktu singkat waktu pendek dan lain sebagainya Kata waktu merupakan sebuah homonim sebab arti-artinya mempunyai ejaan serta pelafalan yg sama namun maknanya berbeda. kata waktu mempunyai arti dalam kelas nomina atau kata benda sebagai akibatnya waktu bisa menyatakan nama dari seorang, tempat, atau seluruh benda serta segala yg dibendakan dan partikel yaitu kata yang tidak tertakluk pada perubahan bentuk dan hanya berfungsi menampilkan unsur yg diiringinya. Berkiatan tentang waktu, dibawah ini, beberapa puisi tentang satu penggalan baitnya. "Berjalan, menuju kedepan menghadapi banyak pilihan pilihan yang akan terpapar untuk harapan hidup yang besar, Mengganti dengan hangatnya musim bernuansa cerah". Selangkapnya dari bait ini disimak saja puisi tentang waktu berikut iniPUISI WAKTUMasih gerimis.. Selepas terpaan angin merobek langit sore ini Dingin s'makin berkuasa menjemput malam Menyelinap pilu di antara tulang tulang.. Ku hayat memori ini.. Mungkin risau memetik detik yang melaju. Ku urai giat berjuta kiat Detik tak henti melemahkan kuat .. Ahh,. Mungkin harus ku biarkan saja Detik mengganti setiap langkah Mengganti dengan hangatnya musim bernuansa cerah.. ROBB ku telah menyusun drama lelaku kehidupan Sebelum tiba ajal yang diceritakan.. Irawan_Tgpandan_Feb2015 Puisi Waktubila hati tlah membeku hidup tinggal mebunggu menunggu waktu waktu. yg akan berlalu. waktu waktu akan berjalan berjalan, menuju kedepan menghadapi banyak pilihan pilihan yang akan terpapar untuk harapan hidup yg besar waktu waktu akan berhenti jika kamu berdiam diri merenunggi kesedihan sendiri yang tidak akan ter0bati selama kamu menyesali diri!Puisi WaktuAndai kau kembali, Akan ku perbaiki kelamku, Yang selalu hadir di mimpi burukku. Andai kau kembali, Aku rela mengorbankan ragaku, Agar tak sia sia seperti ini. Andai kau kembali, Aku akan berusaha yang terbaik. Takan ku sia2kan engkau walau sedetik. Namun semua org tau, Kau tkan pernah kembali. Hanya menyisakan luka dan darah Di hidupku kini. Tasikmalaya, -Jams Amai- Demikianlah puisi tentang waktu baca juga puisi puisi yang lain yang ada di blog ini, semoga puisi waktu diatas dapat menghibur dan bermanfaat. Sampai jumpa di artikel selanjutnya. Tetap di blog puisi dan kata bijak menyimak/membaca puisi yang kami update. Terima kasih sudah berkunjung. WS Rendra adalah salah satu sastrawan Indonesia yang memiliki banyak karya memukau. Ia telah melahirkan banyak puisi yang memiliki makna mendalam. Sebagai generasi muda, Anda harus mengetahui apa saja puisi WS Rendra yang paling populer dan melegenda! Daftar ISIKumpulan Puisi WS Rendra yang Melegenda1. Temperamen 2. Telah Satu3. Kekasih4. Hai, Ma!5. Rambut6. Gereja Ostankino7. Permintaan8. Kami Berdua9. Dua Burung10. Optimisme11. Kegemarannya12. Pahatan13. Janganlah Jauh14. Lagu Seorang Gerilya15. Sanatorium ChakhalinagaraSudah Tahu Kumpulan Puisi Melegenda dari WS Rendra? WS Rendra dikenal sebagai penyair terkaya di Indonesia. Hal ini karena ia sangat produktif dalam menciptakan karya-karya puisi fenomenal. Selain itu, ia juga dijuluki sebagai Si Burung Merak. Nah, berikut ini beberapa kumpulan puisi WS Rendra 1. Temperamen Batu kali, Ditimpa oleh terik matahari. Betapa panasnya! Ketika malam kembali membenam, Kali pun tenteram. Bulannya sejuk, Dan air bernyanyi, Tiada henti. Jika kita marah, Pada kekasih, Selamanya. 2. Telah Satu Gelisahmu adalah gelisahku. Berjalanlah kita sambil bergandengan tangan, Dalam hidup yang nyata, Dan kita dicintai. Lama kita saling bertatap mata, Dan semakin mengerti, Tak lagi bisa dipisahkan. Engkau adalah peniti yang telah disematkan. Aku adalah perahu yang sudah berlabuh dan ditambatkan. Dan, kita adalah lava yang tak bisa kembali diuraikan. 3. Kekasih Kekasihku seperti burung murai. Suaranya merdu. Matanya kaca. Hatinya biru. Kekasihku seperti burung murai. Bersarang indah di dalam hati. Muraiku, hati kita adalah pelangi yang punya selusin warna. 4. Hai, Ma! Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku. Namun, hidup yang tak hidup. Sebab kehilangan daya dan fitrahnya. Ada malam-malam aku berjalan di lorong panjang. Tanpa tujuan kemana-mana. Hawa dingin masuk ke tubuhku yang hampa. Padahal angin tidak ada. Bintang-bintang yang menjadi kunang-kunang. Lebih menekankan kehadiran penuh kegelapan. Tak ada pikiran, tak ada perasaan, tak ada suatu apa. Hidup memang fana, Ma! Namun keadaan yang tidak berdaya membuat diriku tak ada. Terkadang aku merasa dibuang ke belantara. Dijauhi oleh Ayah Bunda dan ditolak para tetangga. Atau kadang aku terlantar di pasar. Aku berbicara, namun orang-orang tidak mendengarnya. Mereka merobek-robek buku dan menertawakan cita-cita. Aku marah, aku takut, aku gemetar. Tetapi aku gagal menyusun bahasa. Hidup memang fana, Ma! Itu mudah aku terima. Namun, aku duduk memeluk lutut sendirian di savana. Membuat hidupku tidak ada harganya. Terkadang aku merasa ditarik-tarik oleh orang ke sana ke mari. Mulutku berbusa sekedar untuk tertawa. Hidup tercemar oleh basa basi. Dan orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran yang edan. Yang tanpa persoalan. Atau percintaan tanpa asmara. Dan sanggama yang tak selesai. Hidup memang fana, Ma! Namun, akrobat pemikiran dan kepalsuan yang dikelola, mengacaukan isi perutku lalu mendorong aku menjerit-jerit. Sembari tidak tahu mengapa. Rasanya seperti telah mati berulang kali. Tidak ada lagi yang membuat kaget dalam hidup ini. Namun Ma, setiap kali menyadari ada kamu dihidupku ini, aku merasa arus darah di seluruh badanku. Kelenjar-kelenjar milikku bekerja. Sukmaku bernyanyi, dunia hadir kembali. Cicak di tembok berbunyi. Tukang kebun terdengar bicara pada putranya. Hidup menjadi nyata, fitrahku kembali. Mengingatkan kepadamu Ma, adalah mengingat kewajiban sehari-hari. Kesederhanaan bahasa prosa, keindahan isi puisi. Kita selalu asyik bertukar pikiran ya Ma? Masing-masing pihak miliki cita-cita. Masing-masing pihak miliki kewajiban yang nyata Hai Ma! Apakah kamu ingat, aku peluk kamu di atas perahu? Ketika perutmu sakit dan aku menenangkanmu, dengan ciuman-ciuman di lehermu? Masyaallah… Aku selalu terpesona pada bau kulitmu! Ingatkah waktu itu aku [pernah berkata Kiamat boleh tiba, hidupku penuh makna. Hehe wah.. Aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini. Dan jika aku menulis sajak-sajak. Aku juga merasa bahwa kemarin dan esok, adalah hari ini. Bencana dan keberuntungan itu sama saja. Langit di luar dan langit di badan bersatu dalam satu jiwa. Sudah ya, Ma! 5. Rambut Berikut ini contoh puisi WS Rendra yang bermakna kerinduan kepada kekasih Rambut kekasihku, Sangatlah indah dan panjang. Katanya, Rambut itu yang akan menjerat hatiku. Rindu, Pohon cemara dari jauh. Membayangkan betapa panjang rambutnya. Maka aku pun rindu kekasihku. 6. Gereja Ostankino Menaranya cukup tinggi, tetapi untuk menggapainya sia-sia. Pintunya punya mulut sepi, Rapat dikunci, Derita dari lumat dikunyahnya. 7. Permintaan Wahai, rembulan yang bundar. Jenguklah jendela kekasihku! Ia tidur sendirian, Hanya berteman dengan hati yang rindu. 8. Kami Berdua Karena sekolah kami belum usai, Kami berdua belum bisa dikawinkan. Namun, di dalam jiwa, anak cucu kami sudah banyak. 9. Dua Burung Adalah dua burung, Yang bersama membuat sarang. Kami berdua serupa burung, Terbang tanpa sarang. 10. Optimisme Cinta kita adalah istana porselen. Angin telah membawa kedamaian. Untuk membelitkan kita dalam pelukan. Bumi telah memberi kekuatan. Karena kita telah melangkah dengan penuh ketegasan. 11. Kegemarannya Pacarku gemar mendengar aku mendongeng. Dalam mendongeng, Selalu kusindir, Bahwa aku sangat mencintainya. 12. Pahatan Di bawah pohon sawo, Di atas bangku panjang, Di bawah langit biru, Di atas bumi kelabu, Istirahatlah untuk dua buah hati yang merindu. 13. Janganlah Jauh Janganlah jauh, Bagaikan bulan yang hanya bisa dipandang. Jadilah angin yang membelai rambutku. Dan kita akan selalu berjamaah. 14. Lagu Seorang Gerilya Puisi WS Rendra berikut ini bermakna tentang pahlawan, cocok Anda gunakan untuk memperingati hari pahlawan Engkau melayang jauh, kekasihku. Engkau mandi cahaya matahari. Aku di sini memandangmu yang menyandang senapan dengan bendera pusaka. Di antara pohon-pohon pisang yang berada di kampung berdebu kita, Engkau berkerudung selendang katun di kepalamu. Engkau menjadi suatu keindahan, Sementara dari jauh, aku mendengar resimen tank penindas menderu. Malam bermandi cahaya matahari, Kehijauan menyelimuti medan perang yang membara. Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku, Engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu. Peluruku habis dan darah muncrat dari dadaku. Maka disaat seperti itu, Kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan, Bersama kakek-kakekku yang telah gugur Di dalam berjuang membela rakyat jelata. 15. Sanatorium Chakhalinagara Hatiku terbaring telanjang di meja, Di atas piring, di samping pisau, sendok, dan garpu, Selagi aku duduk di kursi putih, memangku koran yang tidak bisa dibaca. Pintu balkon terbuka menampakkan terali hitam dan langit tua renta. Bayangan gelas dan teko porselen dipantulkan kaca pintu. Kemudian nampak pula diriku; Wajahku terlihat sepi setelah dicuci, hatiku pun rewel dan manja. Siapa pula aku tunggu? Siapa atau apa? Perawat datang dengan wajah yang heran. la menggelengkan kepala “Kamerad tak makan?” “Lyuda, aku tak bisa makan. Tak bisa kumakan wajah kekasih. Tak bisa ku minum ibuku bersama susu. Dan tak bisa ku usap mata adik dengan mentega!” Ia mengangkat bahu dan bertanya. Ah, ia toh tak tahu bahasa rindu! Jika ia lenyap dari pintu, dengan langkah yang lunak seperti di atas permadani. Ia tidak tahu, bahwa waktu pernah beku dan berhenti. Seluruh bunyi dan warna tanpa makna, Bahkan untuk mimpi, duka, derita, dan kebahagiaan, Tak ada pintu yang membuka. Sudah Tahu Kumpulan Puisi Melegenda dari WS Rendra? Melalui berbagai karya puisi WS Rendra, kita belajar lebih dalam tentang seni, khususnya seni tulis puisi. Dari banyaknya karya puisi beliau, manakah puisi favorit Anda? Puisi Rendra – Puisi, seni tertulis menggunakan keragaman bahasa dengan tambahan semantis dan metaforis untuk menambahkan kualitas keindahan tulisan itu. Puisi merupakan bait-bait yang berisi sebuah kalimat indah yang tersusun dan dikemas dengan semenarik mungkin. Puisi memiliki keunikan yang utuh disertai majas, sehingga tak bosan dinikmati bagi para penikmat sajak. Dalam dunia sastra, di Indonesia sendiri telah lahir banyak sastrawan terkemuka yang melegenda. Nama-namanya pun telah mendunia dan dapat menginspirasi bagi siapapun yang membaca dan merenungi puisi-puisinya. Salah satunya, ialah Rendra. Siapa yang tak tahu dengan penyair kenamaan Indonesia yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto ini? Melihat nama Rendra saja, Grameds sudah pasti langsung mengetahui sosok penyair ini, karena karya sastranya yang begitu populer. Rendra dikenal sebagai penyair paling kaya di Indonesia. Tak heran, karena ia sangat produktif dalam menciptakan dan memanfaatkan metafora-metafora untuk mendukung citraan dramatik dan visual dalam sajak-sajaknya. Bahkan, Rendra juga mendapatkan julukan sebagai Si Burung Merak atas penampilannya sebagai penyair yang selalu mempesona penonton. Seorang pencinta, layaknya merak yang merentangkan ekor cantiknya untuk menarik perhatian sang kekasih. Untuk merekalah, para kekasih, Rendra menuangkan cintanya lewat puisi dalam bukunya yang berjudul Puisi-Puisi Cinta yang bisa ditemukan di Gramedia. Namun, sebelum mengintip beberapa puisi cinta karangannya. Pepatah bilang, tak kenal maka tak sayang. Yuk, Grameds, kita kenalan dulu dengan Rendra melalui biografi singkatnya. Mengenal Sekilas Sosok RendraPuisi-Puisi Cinta RendraPuber Pertama 1954-1958PermintaanRambutKangenKami BerduaKegemarannyaTemperamenPahatanDua BurungTelah SatuOptimismeJanganlah JauhKekasihBunga GugurPuber Kedua 1968-1977Puber Ketiga 1992-2003Sajak Cinta Ditulis pada Usia 57Hai, Ma!Barangkali karena BulanRekomendasi Buku & Artikel TerkaitBuku TerkaitMateri Terkait Fisika Mengenal Sekilas Sosok Rendra Rendra alias Willibrordus Surendra Broto, lahir di Solo pada 7 November 1935. Ia adalah anak dari pasangan Raden Cyprianus Sugeng Brotoatmodjo dan Raden Ayu Catharina Ismadillah. Keluarga Rendra merupakan keluarga Katolik yang dibesarkan dalam lingkungan budaya Jawa. Ayahnya adalah seorang guru di salah satu sekolah Katolik di Solo yang mengajarkan Bahasa Indonesia dan Bahasa Jawa. Selain itu, ayah Rendra pun dikenal sebagai pelaku seni drama atau dramawan tradisional. Bakat seni yang dimiliki Rendra tak hanya berasal dari sang ayah. Ibunya juga sebagai pelaku seni, yakni seorang penari serimpi di Istana Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Selain itu, bakat-bakat seni Rendra tumbuh karena kebiasaan keluarganya. Terlahir dalam lingkungan keluarga Jawa berdarah biru, tentu pada momen-momen khusus diadakan pertemuan antar keluarga. Di acara tersebut, satu per satu anggota keluarga disuruh untuk menembang secara spontan. Akan tetapi, biasanya hal itu lebih diutamakan kepada anak-anak atau anggota keluarga yang masih muda. Pada saat itulah bakat Rendra mulai terlihat, meskipun waktu itu ia baru berusia lima tahun. Di tahun 1942, Rendra memulai pendidikannya dengan memasuki taman kanak-kanak TK. Sampai 10 tahun kemudian, di tahun 1952 ia masuk SMA di sekolah Katolik, Solo tempat ayahnya mengajar. Sementara itu, selama sekolah, bakat sastranya mulai terlihat ketika ia duduk di bangku SMP. Saat itu Rendra sudah mulai menunjukkan kemampuannya dengan menulis puisi, cerpen, dan drama untuk berbagai kegiatan sekolahnya. Bukan hanya menulis, ternyata ia juga piawai di atas panggung. Ia mulai membacakan puisi-puisi karangannya di pentas sekolah. Tak hanya itu, Rendra pun mementaskan salah satu dramanya yang berjudul Kaki Palsu ketika ia SMP. Tumbuh dengan semua kebiasaan serta lingkungan yang penuh akan seni dan budaya itu, maka tidak heran jika Rendra menjelma sebagai sosok seniman yang telah menghasilkan seabrek karya sastra, dari puisi, naskah drama, cerpen, dan lainnya. Ketika SMA, Rendra kembali mementaskan drama karyanya berjudul Orang-Orang di Tikungan Jalan. Dari pentas drama itulah, pertama kalinya ia mendapat penghargaan dan hadiah utama dari Kantor Wilayah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Yogyakarta. Penghargaan itu membuatnya sangat bergairah untuk terus berkarya. Ia mulai mempublikasikan puisinya pertama kali di media massa tahun 1952 melalui majalah Siasat. Setelah itu, puisinya pun lancar mengalir menghiasi berbagai majalah pada saat itu, seperti Kisah, Seni, Basis, Konfrontasi, dan Siasat Baru. Setamat SMA, Rendra pergi ke Jakarta dengan niat untuk bersekolah di Akademi Luar Negeri. Sayangnya, ternyata akademi tersebut telah ditutup. Ia pun memutuskan pergi ke Yogyakarta dan masuk Fakultas Sastra di Universitas Gadjah Mada. Selama berkuliah di Yogyakarta, Rendra gemar mengikuti kegiatan teater Yogyakarta. Namun, pada tahun 1954, Rendra mendapat undangan dari pemerintah Amerika untuk mengikuti seminar kesusastraan di Universitas Harvard, sehingga ia tak menyelesaikan kuliahnya di Universitas Gajah Mada. Meskipun begitu, Rendra mendapatkan gelar Doktor Honoris Causa dari kampusnya tersebut. Pada tahun 1961, sepulang dari Amerika, Rendra pun mulai mendirikan grup teater di Yogyakarta. Akan tetapi, grup itu terhenti karena ia pergi kembali ke Amerika di tahun 1964, karena mendapat beasiswa untuk memperdalam ilmu pengetahuan tentang drama dan seni tari dari American Academy of Dramatical Art AADA. Keberangkatannya ke Amerika saat itu membuat kegiatan teaternya di Yogyakarta terhenti. Rendra menyelesaikan pendidikan luar negeri itu pada tahun 1967. Usai menyelesaikan pendidikannya itu, tahun 1968 Rendra mendirikan ulang teaternya dengan nama baru, yaitu Bengkel Teater. Drama yang menjadi pentas pertamanya adalah Bip-Bop. Komunitas teater buatannya itu pun menjadi perbincangan seluruh masyarakat Indonesia, karena memberi warna dan suasana baru dalam kehidupan teater di Tanah Air, khususnya Yogyakarta. Dalam teater barunya, di situlah Rendra menemukan pasangan hidupnya. Rendra mengalami cinta lokasi dengan Sunarti Suwandi, salah seorang pemain drama dalam Bengkel Teater yang banyak memberikan inspirasi kepada Rendra dalam berkarya. Namun, meski telah menikah dengan Sunarti. Tahun 1970, Rendra menikah lagi dengan Sitoresmi Prabuningrat dan beralih agama dari Katolik ke Islam. Sejak saat itu juga, ia mulai memakai nama Surendra Broto saja. Dari sekilas perjalanan hidupnya, tentunya sastrawan Indonesia yang satu ini memang mahir memainkan kata-kata cinta. Lewat bukunya berjudul Puisi-puisi Cinta yang diterbitkan oleh Bentang Pustaka, Rendra membukukan 30 judul puisi cintanya. Puisi-puisi cinta tersebut ia bagi ke dalam tiga masa, yakni Puber Pertama 1954-1958 yang ia tulis pada masa kuliahnya di Universitas Gadjah Mada. Puber Kedua 1968-1977, yaitu puisi-puisi yang ditulis selepas ia kuliah di New York. Terakhir, Puber Ketiga 1992-2003, berisi puisi-puisi yang ditulisnya dalam masa reformasi 1998. Puber Pertama 1954-1958 Pada Puber Pertama terdapat 24 puisi, berisi tentang kisah percintaan remaja yang apa adanya. Manis dan romantis sekali. Disajikan berbentuk pendek, ringan, dan sederhana, tetapi sangat menunjukkan perasaan orang yang sedang dilanda cinta. Puisi-puisi itu berjudul Permintaan, Rambut, Kangen, Baju, Papaya, Sepeda, Rok Hijau, Kami Berdua, Kegemarannya, Tempramen, Pahatan, Kepada Awan Lewat, Tobat, Sepeda Kekasih, Dua Burung, Telah Satu, Optimisme, Pantun, Ayam Jantan, Janganlah Jauh, Kekasih, Angin Jahat, Membisiki Telinga Sendiri, dan Bunga Gugur. Permintaan Wahai, rembulan yang bundar jenguklah jendela kekasihku! Ia tidur sendirian, hanya berteman hati yang rindu. Rambut Rambut kekasihku sangat indah dan panjang. Katanya, rambut itu untuk menjerat hatiku. Kangen Pohon cemara dari jauh membayangkan panjang rambutnya maka aku pun kangen kekasihku. Kami Berdua Karena sekolah kami belum selesai kami berdua belum dikawinkan. Tetapi di dalam jiwa anak-cucu kami sudah banyak. Kegemarannya Pacarku gemar mendengar aku mendongeng. Dalam mendongeng selalu kusindirkan bahwa aku sangat mencintainya. Temperamen Batu kali ditimpa terik matahari. Betapa panasnya! Ketika malam kembali membenam kali pun tenteram. Bulannya sejuk dan air bernyanyi tiada henti. Jika kita marah pada kekasih selamanya. Pahatan Di bawah pohon sawo di atas bangku panjang di bawah langit biru di atas bumi kelabu –Istirahlah dua buah hati rindu. Dua Burung Adalah dua burung bersama membuat sarang. Kami berdua serupa burung terbang tanpa sarang. Telah Satu Gelisahmu adalah gelisahku. Berjalanlah kita bergandengan dalam hidup yang nyata, dan kita cintai. Lama kita saling bertatap mata dan makin mengerti tak lagi bisa dipisahkan. Engkau adalah peniti yang telah disematkan. Aku adalah kapal yang telah berlabuh dan ditambatkan. Kita berdua adalah lava yang tak bisa lagi diuraikan. Optimisme Cinta kita berdua adalah istana dari porselen. Angin telah membawa kedamaian membelitkan kita dalam pelukan. Bumi telah memberi kekuatan, kerna kita telah melangkah dengan ketegasan. Janganlah Jauh Janganlah jauh bagai bulan hanya bisa dipandang. Jadilah angin membelai rambutku. Dan kita nanti akan selalu berjamahan. Kekasih Kekasihku seperti burung murai. Suaranya merdu. Matanya kaca. Hatinya biru. Kekasihku seperti burung murai. Bersarang indah di dalam hati. Muraiku, hati kita berdua adalah pelangi selusin warna. Bunga Gugur Bunga gugur di atas nyawa yang gugur gugurlah semua yang bersamanya Kekasihku. Bunga gugur di atas tempatmu terkubur gugurlah segala hal ikhwal antara kita. Baiklah kita ikhlaskan saja tiada janji kan jumpa di sorga karena di sorga tiada kita kan perlu asmara. Asmara cuma lahir di bumi di mana segala berujung di tanah mati ia mengikuti hidup manusia dan kalau hidup sendiri telah gugur gugur pula ia bersama sama. Ada tertinggal sedikit kenangan tapi semata tiada lebih dari penipuan atau semacam pencegah bunuh diri. Mungkin ada pula kesedihan itu baginya semacam harga atau kehormatan yang sebentar akan pula berantakan. Kekasihku. Gugur, ya, gugur semua gugur hidup, asmara, embun di bunga – yang kita ambil cuma yang berguna. Puber Kedua 1968-1977 Berbeda dengan Puber Pertama yang berisi puisi-puisi cinta pendek. Di Puber Kedua puisi yang disajikan lebih panjang dan kompleks mengenai kehidupan. Puber kedua terdapat 3 puisi yang berjudul Surat Seorang Istri Siasat, 30 April 1968, Balik Kamu Balik 1972, dan Bukannya di Madrid 1977. Puisi Bukannya di Madrid menceritakan tentang sebuah dialog. Sebuah epos percintaan melalui dialog antara lelaki dan wanita. Terdapat juga beberapa simbol yang selalu terlihat, salah satunya simbol plus +. Sementara itu, dalam puisi Surat Seorang Istri menceritakan tentang pengalaman Rendra yang saat itu akrab dipanggil Willy. Waktu SMP seorang teman lelakinya meminta bantuan kepada Rendra, agar dibuatkan puisi curahan hati untuk teman perempuannya. Keesokan harinya si perempuan tersebut datang kepada Rendra, supaya dibuatkan juga surat balasan untuk teman lelakinya itu. Rendra merasa geli karena si perempuan tidak tahu, bahwa perempuan tersebut meminta Rendra untuk menjawab tulisannya sendiri. Lucu sekali ya. Grameds, apakah kamu juga mengalami masa-masa kirim surat cinta di sekolah? Selanjutnya, di puisi ketiga pada Puber Kedua ini berkisah tentang kehidupan menua dari seseorang bernama Rusman. Rangkaian katanya disusun begitu sederhana nan romantis. Sebetulnya, ketiga puisi tersebut telah dimuat pertama kali di koran dan majalah saat Rendra masih berada di bangku SMP dan SMA. Penerbitan puisi-puisinya di surat kabar itu pun bermula dari keisengan sahabat baiknya, Mulyanto yang mengirimkan puisi-puisinya ke koran dan majalah. Puber Ketiga 1992-2003 Puber Ketiga, yaitu puisi-puisi cinta yang Rendra tulis pada tahun 1992-2003. Terutama di masa reformasi 1998, hal itu karena Rendra juga semakin terbuka dengan wajah negara dan ketatanegaraan. Maka dari itu, ketiga puisi terakhir pada Puber Ketiga berisi penyadaran kritis ketatanegaraan dan antropologis kebangsaan Indonesia. Ketiga puisi-puisi cinta itu berjudul Sajak Cinta Ditulis Pada Usia 57, Hai Ma!, dan Barangkali Karena Bulan. Sajak Cinta Ditulis pada Usia 57 Setiap ruang yang tertutup akan retak karena mengandung waktu yang selalu mengimbangi Dan akhirnya akan meledak bila tenaga waktu terus terhadang Cintaku kepadamu Juwitaku Ikhlas dan sebenarnya Ia terjadi sendiri, aku tak tahu kenapa Aku sekedar menyadari bahwa ternyata ia ada Cintaku kepadamu Juwitaku Kemudian meruang dan mewaktu dalam hidupku yang sekedar insan Ruang cinta aku berdayakan tapi waktunya lepas dari jangkauan Sekarang aku menyadari usia cinta lebih panjang dari usia percintaan Khazanah budaya percintaan… pacaran, perpisahan, perkawinan tak bisa merumuskan tenaga waktu dari cinta Dan kini syairku ini Apakah mungkin merumuskan cintaku kepadamu Syair bermula dari kata, dan kata-kata dalam syair juga meruang dan mewaktu lepas dari kamus, lepas dari sejarah, lepas dari daya korupsi manusia Demikianlah maka syairku ini berani mewakili cintaku kepadamu Juwitaku belum pernah aku puas menciumi kamu Kamu bagaikan buku yang tak pernah tamat aku baca Kamu adalah lumut di dalam tempurung kepalaku Kamu tidak sempurna, gampang sakit perut, gampang sakit kepala dan temperamenmu sering tinggi Kamu sulit menghadapi diri sendiri Dan dibalik keanggunan dan keluwesanmu kamu takut kepada dunia Juwitaku Lepas dari kotak-kotak analisa cintaku kepadamu ternyata ada Kamu tidak molek, tetapi cantik dan juwita Jelas tidak immaculata, tetapi menjadi mitos di dalam kalbuku Sampai disini aku akhiri renungan cintaku kepadamu Kalau dituruti toh tak akan ada akhirnya Dengan ikhlas aku persembahkan kepadamu Cintaku kepadamu telah mewaktu Syair ini juga akan mewaktu Yang jelas usianya akan lebih panjang dari usiaku dan usiamu Hai, Ma! Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku tetapi hidup yang tidak hidup karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya ada malam-malam aku menjalani lorong panjang tanpa tujuan kemana-mana hawa dingin masuk kebadanku yang hampa padahal angin tidak ada bintang-bintang menjadi kunang-kunang yang lebih menekankan kehadiran kegelapan tidak ada pikiran, tidak ada perasaan, tidak ada suatu apa. Hidup memang fana, Ma tetapi keadaan tak berdaya membuat diriku tidak ada kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara dijauhi Ayah Bunda dan ditolak para tetangga atau aku terlantar di pasar aku bicara tetapi orang-orang tidak mendengar mereka merobek-robek buku dan menertawakan cita-cita aku marah, aku takut, aku gemetar namun gagal menyusun bahasa. Hidup memang fana, Ma itu gampang aku terima tetapi duduk memeluk lutut sendirian di savana membuat hidupku tak ada harganya kadang-kadang aku merasa ditarik-tarik orang kesana kemari mulut berbusa sekadar karena tertawa hidup cemar oleh basa basi dan orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran edan yang tanpa persoalan atau percintaan tanpa asmara dan sanggama yang tidak selesai Hidup memang fana tentu saja, Ma tetapi akrobat pemikiran dan kepalsuan yang dikelola mengacaukan isi perutku lalu mendorong aku menjeri-jerit sambil tak tahu kenapa rasanya setelah mati berulang kali. Tak ada lagi yang mengagetkan dalam hidup ini. Tetapi Ma, setiap kali menyadari adanya kamu di dalam hidupku ini aku merasa jalannya arus darah di sekujur tubuhku. Kelenjar-kelenjarku bekerja sukmaku bernyanyi, dunia hadir cicak di tembok berbunyi tukang kebun kedengaran berbicara pada putranya hidup menjadi nyata, fitrahku kembali. Mengingat kamu Ma, adalah mengingat kewajiban sehari-hari kesederhanaan bahasa prosa, keindahan isi puisi kita selalu asyik bertukar pikiran ya Ma? masing-masing pihak punya cita-cita masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata Hai Ma! apakah kamu ingat aku peluk kamu di atas perahu ketika perutmu sakit dan aku tenangkan kamu dengan ciuman-ciuman di lehermu? Masyaallah… Aku selalu kesengsem pada bau kulitmu Ingatkah waktu itu aku berkata kiamat boleh tiba, hidupku penuh makna Hehehe waahh.. Aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini dan apabila aku menulis sajak aku juga merasa bahwa kemaren dan esok adalah hari ini. Bencana dan keberuntungan sama saja. Langit di luar, langit di badan bersatu dalam jiwa. Sudah ya, Ma… Barangkali karena Bulan Bulan menyebarkan aroma berahi dari tubuhnya. Yang lalu melekat di daun-daun pohon tanjung yang gemetaran. Seekor kucing jantan mengerang dengan suara ajaib. Mengucapkan puisi yang tak bisa ia tuliskan. Dan, Ma, aku meraih sukmamu yang jauh dari jangkauanku. Aku tulis sajak cintaku ini Karena tak bisa kubisikkan kepadamu. Rindu mengarungi Senin, Selasa, Rabu, Dan seluruh Minggu. Menetas bagaikan air liur langit Yang menjadi bintang-bintang. Kristal-kristal harapan dan keinginan berkilat-kilat hanyut di air kali membentur batu-batu yang tidur. Gairah kerja di siang hari di malam hari menjadi gelora asmara. Kerna bintang-bintang, pohon tanjung, angin, dan serangga malam. Ma, tubuhmu yang lelap tidur terbaring di atas perahu layar hanyut di langit mengarungi angkasa raya. Nah, itulah puisi-puisi terkenal dari Rendra. Meskipun zaman telah berkembang menjadi semakin modern, tetapi eksistensi dari puisi romantis karya sastrawan senior tetap akan selalu dikenang. Sebagai generasi muda, kita tentu saja tidak boleh melupakan karya sastra tersebut ya… Rekomendasi Buku & Artikel Terkait Penulis Indah Utami Baca Juga! Jenis-Jenis Puisi Lama, Ada Apa Saja? Memahami Teori dan Sejarah Sastra Tokoh-Tokoh Puisi di Indonesia, Siapa yang Menjadi Favoritmu? Mengenal Apa Itu Majas dan Contohnya Pengertian Puisi dan Cara Membuatnya 7 Sastrawan Indonesia Pada Eranya Apa Itu Aliran Romantisisme? ePerpus adalah layanan perpustakaan digital masa kini yang mengusung konsep B2B. Kami hadir untuk memudahkan dalam mengelola perpustakaan digital Anda. Klien B2B Perpustakaan digital kami meliputi sekolah, universitas, korporat, sampai tempat ibadah." Custom log Akses ke ribuan buku dari penerbit berkualitas Kemudahan dalam mengakses dan mengontrol perpustakaan Anda Tersedia dalam platform Android dan IOS Tersedia fitur admin dashboard untuk melihat laporan analisis Laporan statistik lengkap Aplikasi aman, praktis, dan efisien Puisi WS Rendra - Rendra yang memiliki nama asli Willibrordus Surendra Broto Rendra adalah seorang sastrawan berkebangsaan Indonesia yang lahir di Solo, Hindia Belanda, 7 November 1935 dan meninggal di Depok, Jawa Barat, 6 Agustus 2009 pada umur 73 tahun. Sejak masih muda beliau sudah sering menulis puisi, skenario drama, menulis cerpen, dan esai sastra di media massa. Beliau adalah penyair ternama yang kerap dijuluki dengan sebutan "Burung Merak". Rendra juga orang yang telah mendirikan Bengkel Teater di Yogyakarta pada tahun 1967 dan telah melahirkan banyak seniman terkenal. Seperti Sitok Srengenge, Radhar Panca Dahana, Adi Kurdi dan lain-lain. Namun Bengkel Teater itu akhirnya kocar kacir karena tekanan politik dan Rendra memindahkannya ke Depok pada tahun 1985. Nah, bagi kalian yang sedang mencari puisi karya WS Rendra yang melegenda. Kami sudah menyiapkan 41 kumpulan puisi lengkap yang bisa kalian serap makna disetiap baitnya yang dalam. Berikut Puisi Karya WS Rendra. Baca Juga 150 Kumpulan Puisi Cinta Romantis, Sedih, Rindu, Galau Terbaik 76+ Kumpulan Puisi Karya Chairil Anwar 33 Kumpulan Puisi Karya Taufik Ismail yang Melegenda 39+ Kumpulan Puisi Karya Kahlil Gibran 31 Kumpulan Puisi Karya Sapardi Djoko Damono Source Google Images Puisi 1 Hai, Ma! Rendra Jakarta, Juli 1992 Ma, bukan maut yang menggetarkan hatiku tetapi hidup yang tidak hidup karena kehilangan daya dan kehilangan fitrahnya ada malam-malam aku menjalani lorong panjang hawa dingin masuk kebadanku yang hampa bintang-bintang menjadi kunang-kunang yang lebih menekankan kehadiran kegelapan tidak ada pikiran, tidak ada perasaan, tidak ada suatu apa tetapi keadaan tak berdaya membuat diriku tidak ada kadang-kadang aku merasa terbuang ke belantara dijauhi Ayah Bunda dan ditolak para tetangga atau aku terlantar di pasar aku bicara tetapi orang-orang tidak mendengar mereka merobek-robek buku dan menertawakan cita-cita aku marah, aku takut, aku gemetar namun gagal menyusun bahasa tetapi duduk memeluk lutut sendirian di savana membuat hidupku tak ada harganya kadang-kadang aku merasa ditarik-tarik orang kesana kemari mulut berbusa sekadar karena tertawa hidup cemar oleh basa basi dan orang-orang mengisi waktu dengan pertengkaran edan atau percintaan tanpa asmara dan sanggama yang tidak selesai Hidup memang fana tentu saja, Ma tetapi akrobat pemikiran dan kepalsuan yang dikelola mengacaukan isi perutku lalu mendorong aku menjeri-jerit rasanya setelah mati berulang kali Tak ada lagi yang mengagetkan dalam hidup ini Tetapi Ma, setiap kali menyadari adanya kamu di dalam hidupku ini aku merasa jalannya arus darah di sekujur tubuhku Kelenjar-kelenjarku bekerja sukmaku bernyanyi, dunia hadir tukang kebun kedengaran berbicara pada putranya hidup menjadi nyata, fitrahku kembali Mengingat kamu Ma, adalah mengingat kewajiban sehari-hari kesederhanaan bahasa prosa, keindahan isi puisi kita selalu asyik bertukar pikiran ya Ma? masing-masing pihak punya cita-cita masing-masing pihak punya kewajiban yang nyata aku peluk kamu di atas perahu ketika perutmu sakit dan aku tenangkan kamu dengan ciuman-ciuman di lehermu? Masyaallah..aku selalu kesengsem pada bau kulitmu Ingatkah waktu itu aku berkata kiamat boleh tiba, hidupku penuh makna Hehehe waahh..aku memang tidak rugi ketemu kamu di hidup ini dan apabila aku menulis sajak aku juga merasa bahwa kemaren dan esok Bencana dan keberuntungan sama saja Langit di luar, langit di badan bersatu dalam jiwa Puisi 2 Maskumambang Rendra Cipayung Jaya, 4 April 2006 Kabut fajar menyusut dengan perlahan. Zaman macam apa, peradaban macam apa, yang akan kami wariskan kepada kalian! Jiwaku menyanyikan tembang maskumambang. Kami adalah angkatan pongah. Kami tidak mampu membuat rencana Karena kami tidak menguasai ilmu untuk membaca tata buku masa lalu, untuk membaca tata buku masa kini, hanyalah spekulasi keinginan Negara terlanda gelombang zaman edan. Cita-cita kebajikan terhempas waktu, Tetapi aku keras bertahan mendekap akal sehat dan suara jiwa, biarpun tercampak di selokan zaman. Bangsa kita kini seperti dadu terperangkap di dalam kaleng utang, yang dikocok-kocok oleh bangsa adikuasa, tanpa kita berdaya melawannya. Semuanya terjadi atas nama pembangungan, yang mencontoh tatanan pembangunan juga mencontoh tatanan penjajahan. Menyebabkan rakyat dan hukum hanyalah pemerintah dan partai politik. O, martabat bangsa yang kini compang-camping! Kekuasaan kekerasan merajalela. Gubuk-gubuk gelandangan dibongkar. Semua atas nama takhayul pembangunan. Atas nama semangat agama yang berkobar. Apabila agama menjadi lencana politik, maka erosi agama pasti terjadi! Karena politik tidak punya kepala. Tidak punya telinga. Tidak punya hati. Politik hanya mengenal kalah dan menang. Meskipun hidup berbangsa perlu politik, tetapi politik tidak boleh menjamah dalam kewajaran hidup bersama di dunia, harus menjaga daulat hukum alam, dan daulat hukum akal sehat. Matahari yang merayap naik dari ufuk timur telah melampaui pohon jinjing. Udara yang ramah menyapa tubuhku. Menyebar bau bawang goreng yang digoreng di dapur. Berdengung sepasang kumbang yang bersenggama di udara. Mas Willy! istriku datang menyapaku. Ia melihat pipiku basah oleh air mata. Aku bangkit hendak berkata. Sssh, diam! bisik istriku, Jangan menangis. Tulis sajak. Puisi 3 Sajak Sajak Cinta Setiap ruang yang tertutup akan retak karena mengandung waktu yang selalu mengimbangi Dan akhirnya akan meledak bila tenaga waktu terus terhadang Cintaku kepadamu Juwitaku Ia terjadi sendiri, aku tak tahu kenapa Aku sekedar menyadari bahwa ternyata ia ada Cintaku kepadamu Juwitaku Kemudian meruang dan mewaktu dalam hidupku yang sekedar insan Ruang cinta aku berdayakan tapi waktunya lepas dari jangkauan usia cinta lebih panjang dari usia percintaan Khazanah budaya percintaan­ pacaran, perpisahan, perkawinan tak bisa merumuskan tenaga waktu dari cinta Apakah mungkin merumuskan cintaku kepadamu dan kata-kata dalam syair juga meruang dan mewaktu lepas dari kamus, lepas dari sejarah, lepas dari daya korupsi manusia Demikianlah maka syairku ini berani mewakili cintaku kepadamu belum pernah aku puas menciumi kamu Kamu bagaikan buku yang tak pernah tamat aku baca Kamu adalah lumut di dalam tempurung kepalaku Kamu tidak sempurna, gampang sakit perut, gampang sakit kepala dan temperamenmu sering tinggi Kamu sulit menghadapi diri sendiri Dan dibalik keanggunan dan keluwesanmu Lepas dari kotak-kotak analisa cintaku kepadamu ternyata ada Kamu tidak molek, tetapi cantik dan juwita Jelas tidak immaculata, tetapi menjadi mitos Sampai disini aku akhiri renungan cintaku kepadamu Kalau dituruti toh tak akan ada akhirnya Dengan ikhlas aku persembahkan kepadamu Cintaku kepadamu telah mewaktu Syair ini juga akan mewaktu Yang jelas usianya akan lebih panjang Puisi 4 Sajak Sebatang Lisong Rendra ITB Bandung 19 agustus 1978 menghisap sebatang lisong mendengar 130 juta rakyat dua tiga cukung mengangkang berak di atas kepala mereka dan aku melihat delapan juta kanak kanak tetapi pertanyaan pertanyaanku membentur meja kekuasaan yang macet dan papantulis papantulis para pendidik yang terlepas dari persoalan kehidupan menghadapi satu jalan panjang tanpa dangau persinggahan tanpa ada bayangan ujungny aku melihat sarjana sarjana menganggur aku melihat wanita bunting bahwa bangsa kita adalah malas bahwa bangsa mesti dibangun disesuaikan dengan teknologi yang diimpor langit pesta warna di dalam senjakala protes protes yang terpendam membentur jidat penyair penyair salon yang bersajak tentang anggur dan rembulan sementara ketidak adilan terjadi disampingnya dan delapan juta kanak kanak tanpa pendidikan termangu mangu di kaki dewi kesenian bunga bunga bangsa tahun depan berkunang kunang pandang matanya di bawah iklan berlampu neon berjuta juta harapan ibu dan bapak menjadi gemalau suara yang kacau menjadi karang di bawah muka samodra kita mesti berhenti membeli rumus rumus asing diktat diktat hanya boleh memberi metode tetapi kita sendiri mesti merumuskan keadaan kita mesti keluar ke jalan raya mencatat sendiri semua gejala dan menghayati persoalan yang nyata bila terpisah dari derita lingkungan bila terpisah dari masalah kehidupan Puisi 5 Sajak Orang Lapar Rendra kelaparan adalah burung gagak jutaan burung-burung gagak dan kelaparan adalah burung gagak kelaparan adalah pemberontakan dari pisau-pisau pembunuhan yang diayunkan oleh tangan-tangan orang miskin kelaparan adalah batu-batu karang di bawah wajah laut yang tidur adalah pengkhianatan kehormatan seorang pemuda yang gagah akan menangis tersedu melihat bagaimana tangannya sendiri meletakkan kehormatannya di tanah kelaparan adalah iblis yang menawarkan kediktatoran kelaparan adalah tangan-tangan hitam yang memasukkan segenggam tawas ke dalam perut para miskin perut Mu menggenggam tawas dan pecahan-pecahan gelas kaca betapa indahnya sepiring nasi panas semangkuk sop dan segelas kopi hitam kelaparan adalah burung gagak Puisi 6 Sajak Rajawali Rendra tidak bisa mengubah rajawali menjadi seekor burung nuri rajawali adalah pacar langit dan di dalam sangkar besi bahwa langit akan selalu menanti adalah keluasan dan kebebasan tanpa sukma tujuh langit, tujuh rajawali tujuh cakrawala, tujuh pengembara rajawali terbang tinggi memasuki sepi hidup adalah merjan-merjan kemungkinan yang terjadi dari keringat matahari tanpa kemantapan hati rajawali mata kita hanya melihat matamorgana membela langit dengan setia dan ia akan mematuk kedua matamu wahai, kamu, pencemar langit yang durhaka. Puisi 7 Sajak Pertemuan Mahasiswa Rendra Jakarta, 1 desember 1977 mencium bau kencing orok di kaki langit melihat kali coklat menjalar ke lautan dan mendengar dengung di dalam hutan lalu kini ia dua penggalah tingginya dan ia menjadi saksi kita berkumpul disini kenapa maksud baik tidak selalu berguna kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga orang berkata kami ada maksud baik dan kita bertanya maksud baik untuk siapa ? ada yang jaya, ada yang terhina ada yang bersenjata, ada yang terluka ada yang duduk, ada yang diduduki ada yang berlimpah, ada yang terkuras dan kita disini bertanya maksud baik saudara untuk siapa ? saudara berdiri di pihak yang mana ? kenapa maksud baik dilakukan tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya tanah tanah di gunung telah dimiliki orang orang kota hanya menguntungkan segolongan kecil saja alat alat kemajuan yang diimpor tidak cocok untuk petani yang sempit tanahnya lantas maksud baik saudara untuk siapa ? sekarang matahari semakin tinggi lalu akan bertahta juga di atas puncak kepala dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya kita ini dididik untuk memihak yang mana ? ilmu ilmu diajarkan disini akan menjadi alat pembebasan ataukah alat penindasan ? sebentar lagi matahari akan tenggelam cicak cicak berbunyi di tembok tetapi pertanyaan kita tidak akan mereda akan hidup di dalam mimpi akan tumbuh di kebon belakang matahari akan terbit kembali sementara hari baru menjelma pertanyaan pertanyaan kita menjadi hutan di bawah matahari ini kita bertanya ada yang menangis, ada yang mendera ada yang habis, ada yang mengikis berdiri di pihak yang mana ! Puisi 8 Surat Cinta Rendra bagai bunyi tambur yang gaib, serta menggetarkan bulu-bulunya, kupinang kau menjadi istriku ! Kaki-kaki hujan yang runcing menyentuhkan ujungnya di bumi, Kaki-kaki cinta yang tegas bagai logam berat gemerlapan dan tak kan kunjung diundurkan mereka berkaca dan mencuci rambutnya dengan pakaian pengantin yang anggun bunga-bunga serta keris keramat aku ingin membimbingmu ke altar penyair dari kehidupan sehari-hari, orang yang bermula dari kata kehidupan, pikir dan rasa Semangat kehidupan yang kuat bagai berjuta-juta jarum alit kantong rejeki dan restu wingit Semangat cintaku yang kuta batgai seribu tangan gaib menyebarkan seribu jaring yang selalu tersenyum padaku Engkau adalah putri duyung dengan ratapnya yang merdu. Engkau adalah putri duyung mengejap-ngejapkan matanya yang indah bersenda gurau dalam selokan dan langit iri melihatnya menjadi ibu anak-anakku ! Puisi 9 Rumpun Alang-alang Rendra Engkaulah perempuan terkasih, yang sejenak kulupakan, sayang Kerna dalam sepi yang jahat tumbuh alang-alang di hatiku yang malang Di hatiku alang-alang menancapkan akar-akarnya yang gatal Serumpun alang-alang gelap, lembut dan nakal tapi alang-alang tumbuh di dada. Puisi 10 Makna Sebuah Titipan Rendra Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa sesungguhnya ini hanya titipan, bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya, bahwa hartaku hanya titipan Nya, bahwa putraku hanya titipan Nya, tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita. Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku ingin lebih banyak harta, ingin lebih banyak mobil, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiskinan, Seolah semua derita adalah hukuman bagiku. Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika aku rajin beribadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan Nikmat dunia kerap menghampiriku. Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih. Kuminta Dia membalas perlakuan baikku, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku, Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah. ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja. Sering kali aku berkata, ketika orang memuji milikku, bahwa sesungguhnya ini hanya titipan, bahwa mobilku hanya titipan Nya, bahwa rumahku hanya titipan Nya, bahwa hartaku hanya titipan Nya, bahwa putraku hanya titipan Nya, tetapi, mengapa aku tak pernah bertanya, mengapa Dia menitipkan padaku? Untuk apa Dia menitipkan ini pada ku? Dan kalau bukan milikku, apa yang harus kulakukan untuk milik Nya ini? Adakah aku memiliki hak atas sesuatu yang bukan milikku? Mengapa hatiku justru terasa berat, ketika titipan itu diminta kembali oleh-Nya ? Ketika diminta kembali, kusebut itu sebagai musibah kusebut itu sebagai ujian, kusebut itu sebagai petaka, kusebut dengan panggilan apa saja untuk melukiskan bahwa itu adalah derita. Ketika aku berdoa, kuminta titipan yang cocok dengan hawa nafsuku, aku inglebih banyak harta, lebih banyak popularitas, dan kutolak sakit, kutolak kemiski1 Seolah semua derita adalah hukuman bagiku. Seolah keadilan dan kasih Nya harus berjalan seperti matematika aku rajberibadah, maka selayaknyalah derita menjauh dariku, dan Nikmat dunia kerap menghampiriku. Kuperlakukan Dia seolah mitra dagang, dan bukan Kekasih. Kuminta Dia membalas perlakuan baikku, dan menolak keputusanNya yang tak sesuai keinginanku, Gusti, padahal tiap hari kuucapkan, hidup dan matiku hanyalah untuk beribadah. ketika langit dan bumi bersatu, bencana dan keberuntungan sama saja. Puisi 11 Sajak Bulan Mei 1998 Di Indonesia Rendra DPR 18 Mei 1998 Aku tulis sajak ini di bulan gelap raja-raja Bangkai-bangkai tergeletak lengket di aspal jalan Amarah merajalela tanpa alamat Kelakuan muncul dari sampah kehidupan Pikiran kusut membentur simpul-simpul sejarah O, malam kelam pikiran insan! Koyak moyak sudah keteduhan tenda kepercayaan Kitab undang-undang tergeletak di selokan Kepastian hidup terhuyung-huyung dalam comberan O, tatawarna fatamorgana kekuasaan! O, sihir berkilauan dari mahkota raja-raja! Dari sejak zaman Ibrahim dan Musa Allah selalu mengingatkan bahwa hukum harus lebih tinggi dari ketinggian para politisi, raja-raja, dan tentara O, kebingungan yang muncul dari kabut ketakutan! O, rasa putus asa yang terbentur sangkur! Berhentilah mencari Ratu Adil! Ratu Adil itu tidak ada. Ratu Adil itu tipu daya! Apa yang harus kita tegakkan bersama Hukum Adil adalah bintang pedoman di dalam prahara Bau anyir darah yang kini memenuhi udara menjadi saksi yang akan berkata Apabila pemerintah sudah menjarah Daulat Rakyat apabila cukong-cukong sudah menjarah ekonomi bangsa apabila aparat keamanan sudah menjarah keamanan maka rakyat yang tertekan akan mencontoh penguasa lalu menjadi penjarah di pasar dan jalan raya Wahai, penguasa dunia yang fana! Wahai, jiwa yang tertenung sihir tahta! Apakah masih buta dan tuli di dalam hati? Apakah masih akan menipu diri sendiri? Apabila saran akal sehat kamu remehkan berarti pintu untuk pikiran-pikiran kalap yang akan muncul dari sudut-sudut gelap Cadar kabut duka cita menutup wajah Ibu Pertiwi Airmata mengalir dari sajakku ini. Puisi 12 Perempuan yang Tergusur Rendra Cipayung Jaya, 3 Desember 2003 Hujan lebat turun di hulu subuh yang lalu tersangkut di ranting pohon mendengar hujan menghajar dinding Tiba-tiba pikiran mengganti mimpi dan lalu terbayanglah wajahmu, wahai perempupan yang tergusur! ibumu mati ketika kamu bayi dan kamu tak pernah tahu siapa ayahmu. Kamu diasuh nenekmu yang miskin di desa. Umur enam belas kamu dibawa ke kota oleh sopir taxi yang mengawinimu. ia menambah penghasilan sebagai germo. Ia paksa kamu jadi primadona pelacurnya. Bila kamu ragu dan murung, lalu kurang setoran kamu berikan, ia memukul kamu babak belur. Tapi kemudian ia mati ditembak tentara ketika ikut demontrasi politik sebagai demonstran bayaran. Sebagai janda yang pelacur kamu tinggal di gubuk tepi kali Gubernur dan para anggota DPRD menggolongkanmu sebagai tikus got yang mengganggu peradaban. Di dalam hukum positif tempatmu tidak ada. Didalam hujuan lebat pagi ini apakah kamu lagi berjalan tanpa tujuan sambhil memeluk kantong plastik yang berisi sisa hartamu? Ataukah berteduh di bawah jembatan? bagai tata rias yang luntur oleh hujan Kamu adalah korban tenung keadaan. Keadilan terletak diseberang highway yang bebahaya yang tak mungkin kamu seberangi. Aku tak tahu cara seketika untuk membelamu. Tetapi aku memihak kepadamu. Dengan sajak ini bolehkan aku menyusut keringat dingin Waktu berjalan satu arah saja. Tetapi ia bukan garis lurus. Ia penuh kelokan yang mengejutkan, gunung dan jurang yang mengecilkan hati, Setiap kali kamu lewati kelokan yang berbahaya puncak penderitaan yang menyakitkan hati, atau tiba di dasar jurang yang berlimbah lelah, selalu kamu dapati kedudukan yang tak berubah, ialah kedudukan kaum terhina. Tapi aku kagum pada daya tahanmu, pada caramu menikmati setiap kesempatan, pada kemampuanmu berdamai dengan dunia, pada kemampuanmu berdamai dengan diri sendiri, dan caramu merawat selimut dengan hati-hati. Ternyata di gurun pasir kehidupan yang penuh bencana semak yang berduri bisa juga berbunga. karena melihat ada kelucuan di dalam ironi, diam-diam aku memuja kamu di hati ini. Puisi 13 Kangen Rendra Kau tak akan mengerti bagaimana kesepianku menghadapi kemerdekaan tanpa cinta kau tak akan mengerti segala lukaku kerna luka telah sembunyikan pisaunya. Membayangkan wajahmu adalah siksa. Kesepian adalah ketakutan dalam kelumpuhan. Engkau telah menjadi racun bagi darahku. Apabila aku dalam kangen dan sepi pada kejemuan disandarkan dirinya. Jalanan berdebu tak berhati Batang baja waktu lengang Puisi 14 Orang Orang Miskin Rendra Yogya, 4 Pebruari 1978 Orang-orang miskin di jalan, yang tinggal di dalam selokan, yang kalah di dalam pergulatan, yang diledek oleh impian, janganlah mereka ditinggalkan. Angin membawa bau baju mereka. Rambut mereka melekat di bulan purnama. Wanita-wanita bunting berbaris di cakrawala, mengandung buah jalan raya. Orang-orang miskin. Orang-orang berdosa. Bayi gelap dalam batin. Rumput dan lumut jalan raya. Bila kamu remehkan mereka, di jalan kamu akan diburu bayangan. Tidurmu akan penuh igauan, dan bahasa anak-anakmu sukar kamu terka. Jangan kamu bilang negara ini kaya karena orang-orang berkembang di kota dan di desa. Jangan kamu bilang dirimu kaya bila tetanggamu memakan bangkai kucingnya. Lambang negara ini mestinya trompah dan blacu. agar ketemu presiden tak perlu berdasi seperti Belanda. Dan tentara di jalan jangan bebas memukul mahasiswa. Orang-orang miskin di jalan masuk ke dalam tidur malammu. Perempuan-perempuan bunga raya Tangan-tangan kotor dari jalanan meraba-raba kaca jendelamu. Mereka tak bisa kamu biarkan. Jumlah mereka tak bisa kamu mistik menjadi nol. Mereka akan menjadi pertanyaan yang mencegat ideologimu. akan meringis di muka agamamu. Kuman-kuman sipilis dan tbc dari gang-gang gelap akan hinggap di gorden presidenan dan buku programma gedung kesenian. Orang-orang miskin berbaris sepanjang sejarah, bagai udara panas yang selalu ada, bagai gerimis yang selalu membayang. Orang-orang miskin mengangkat pisau-pisau atau ke dada mereka sendiri. juga berasal dari kemah Ibrahim Puisi 15 Aku Tulis Pamplet Ini Rendra Pejambon Jakarta 27 April 1978 karena lembaga pendapat umum ditutupi jaring labah-labah Orang-orang bicara dalam kasak-kusuk, dan ungkapan diri ditekan Apa yang terpegang hari ini Ketidakpastian merajalela. Di luar kekuasaan kehidupan menjadi teka-teki menjadi isi kebon binatang Apabila kritik hanya boleh lewat saluran resmi, maka hidup akan menjadi sayur tanpa garam Lembaga pendapat umum tidak mengandung pertanyaan. Tidak mengandung perdebatan Dan akhirnya menjadi monopoli kekuasaan karena pamplet bukan tabu bagi penyair Aku inginkan merpati pos. Aku ingin memainkan bendera-bendera semaphore di tanganku Aku ingin membuat isyarat asap kaum Indian. kenapa harus diam tertekan dan termangu. Aku ingin secara wajar kita bertukar kabar. Duduk berdebat menyatakan setuju dan tidak setuju. Kenapa ketakutan menjadi tabir pikiran ? Kekhawatiran telah mencemarkan kehidupan. Ketegangan telah mengganti pergaulan pikiran yang merdeka. Matahari menyinari airmata yang berderai menjadi api. Rembulan memberi mimpi pada dendam. Gelombang angin menyingkapkan keluh kesah yang teronggok bagai sampah karena kawan dan lawan adalah saudara Di dalam alam masih ada cahaya. Matahari yang tenggelam diganti rembulan. Lalu besok pagi pasti terbit kembali. Dan di dalam air lumpur kehidupan, aku melihat bagai terkaca ternyata kita, toh, manusia ! Puisi 16 Doa Seorang Serdadu Sebelum Perang Rendra Mimbar Indonesia 18 Juni 1960. WajahMu membayang di kota terbakar dan firmanMu terguris di atas ribuan Anak menangis kehilangan bapa Tanah sepi kehilangan lelakinya Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia Apabila malam turun nanti sempurnalah sudah warna dosa dan mesiu kembali lagi bicara perkenankan aku menusukkan sangkurku -biarpun bersama penyesalan- oleh bibirku yang terjajah ? Sementara kulihat kedua lengaMu yang capai mendekap bumi yang mengkhianatiMu Erat-erat kugenggam senapanku Perkenankan aku menusukkan sangkurku Puisi 17 Gerilya Rendra Siasat Th IX, No. 42 1955 lelaki berguling di jalan terkecap pahitnya tembakau bendungan keluh dan bencana Dengan tujuh lubang pelor Gadis berjalan di subuh merah dengan sayur-mayur di punggung Orang-orang kampung mengenalnya anak janda berambut ombak ditimba air bergantang-gantang Lewat gardu Belanda dengan berani Puisi 18 Gugur Rendra di atas bumi yang dicintainya Telah ia lepaskan dengan gemilang pelor terakhir dari bedilnya Ke dada musuh yang merebut kotanya di atas bumi yang dicintainya susah payah maut menjeratnya menatap musuh pergi dari kotanya Sesudah pertempuran yang gemilang itu lima pemuda mengangkatnya menuju kota kesayangannya di atas bumi yang dicintainya Ketika anaknya memegang tangannya kembali rebah pada tanah. Dan aku pun berasal dari tanah tanah Ambarawa yang kucinta Kerna kita punya bumi kecintaan. Bumi kita adalah tempat pautan yang sah. Bumi kita adalah kehormatan. Bumi kita adalah juwa dari jiwa. Ia adalah bumi nenek moyang. Ia adalah bumi waris yang sekarang. Ia adalah bumi waris yang akan datang. Bumi berpeluh dan terbakar Kerna api menyala di kota Ambarawa Orang tua itu kembali berkata Lihatlah, hari telah fajar ! kita akan berpelukan buat selama-lamanya ! di bumi tempatku berkubur kemudian akan ditanamnya benih -Alangkah gemburnya tanah di sini! Puisi 19 Lagu Seorang Gerilya Rendra Jakarta, 2 september 1977 Engkau melayang jauh, kekasihku. Engkau mandi cahaya matahari. menyandang senapan, berbendera pusaka. Di antara pohon-pohon pisang di kampung kita yang berdebu, engkau berkudung selendang katun di kepalamu. Engkau menjadi suatu keindahan, resimen tank penindas terdengar menderu. Malam bermandi cahaya matahari, kehijauan menyelimuti medan perang yang membara. Di dalam hujan tembakan mortir, kekasihku, engkau menjadi pelangi yang agung dan syahdu dan darah muncrat dari dadaku. kamu menyanyikan lagu-lagu perjuangan bersama kakek-kakekku yang telah gugur di dalam berjuang membela rakyat jelata Puisi 20 Lagu Serdadu Rendra Siasat No. 630, th. 13 November 1959. Kami masuk serdadu dan dapat senapang ibu kami nangis tapi elang toh harus terbang Yoho, darah kami campur arak! Yoho, mimpi kami patung-patung dari perak Nenek cerita pulau-pulau kita indah sekali Wahai, tanah yang baik untuk mati Dan kalau ku telentang dengan pelor timah cukilah ia bagi puteraku di rumah Puisi 21 Mazmur Mawar Rendra Dirgahayu6 Karya Wiyata 83 Tahun XX Juli-Agustus 1997. Kita muliakan dengan segenap mawar Kita muliakan Tuhan yang manis, indah, dan penuh kasih sayang Tuhan adalah serdadu yang tertembak Tuhan berjalan di sepanjang jalan becek sebagai orang miskin yang tua dan bijaksana dengan baju compang-camping membelai kepala kanak-kanak yang lapar. Tuhan adalah Bapa yang sakit batuk Dengan pandangan arif dan bijak membelai kepala para pelacur Tuhan berada di gang-gang gelap Bersama para pencuri, para perampok Tuhan adalah teman sekamar para penjinah adalah cacing bagi bebek dan babi Wajah Tuhan yang manis adalah meja pejudian yang berdebu dan dibantingi kartu-kartu Tuhan sebagai orang tua renta tidur melengkung di trotoar batuk-batuk karena malam yang dingin dan tangannya menekan perutnya yang lapar Tuhan telah terserang lapar, batuk, dan selesma, Wahai, ia adalah teman kita yang akrab! Ia adalah teman kita semua para musuh polisi, Para perampok, pembunuh, penjudi, pelacur, penganggur, dan peminta-minta Marilah kita datang kepada-Nya kita tolong teman kita yang tua dan baik hati. Puisi 22 Pamplet Cinta Rendra Pejambon, Jakarta, 28 April 1978 Ma, nyamperin matahari dari satu sisi. Memandang wajahmu dari segenap jurusan. Aku menyaksikan zaman berjalan kalangkabutan. Aku melihat waktu melaju melanda masyarakatku. dan aku melihat wajah-wajah berdarah para mahasiswa. Kampus telah diserbu mobil berlapis baja. Kata-kata telah dilawan dengan senjata. Aku muak dengan gaya keamanan semacam ini. Kenapa keamanan justru menciptakan ketakutan dan ketegangan Sumber keamanan seharusnya hukum dan akal sehat. Keamanan yang berdasarkan senjata dan kekuasaan adalah penindasan Suatu malam aku mandi di lautan. Bunga-bunga yang ajaib bermekaran di langit. Aku inginkan kamu, tapi kamu tidak ada. Apa yang bisa dilakukan oleh penyair bila setiap kata telah dilawan dengan kekuasaan ? Tegur sapa tanpa jaminan. Air lautan berkilat-kilat. Suara lautan adalah suara kesepian. Sebenarnya apakah harapan ? Harapan adalah karena aku akan membelai rambutmu. Harapan adalah karena aku akan tetap menulis sajak. Harapan adalah karena aku akan melakukan sesuatu. Aku terkenang kepada apa yang telah terjadi. Sepuluh tahun aku berjalan tanpa tidur. Pantatku karatan aku seret dari warung ke warung. Perutku sobek di jalan raya yang lengang­­. Tidak. Aku tidak sedih dan kesepian. Aku menulis sajak di bordes kereta api. Aku bertualang di dalam udara yang berdebu. Dengan berteman anjing-anjing geladak dan kucing-kucing liar, aku bernyanyi menikmati hidup yang kelabu. nongol dari perut matahari bunting, jam duabelas seperempat siang. Aku disergap kejadian tak terduga. tapi juga menggigil bertanya-tanya. Yaaah , Ma, mencintai kamu adalah bahagia dan sedih. Bahagia karena mempunyai kamu di dalam kalbuku, dan sedih karena kita sering berpisah. Ketegangan menjadi pupuk cinta kita. Tetapi bukankah kehidupan sendiri adalah bahagia dan sedih ? Bahagia karena napas mengalir dan jantung berdetak. Sedih karena pikiran diliputi bayang-bayang. Adapun harapan adalah penghayatan akan ketegangan. Ma, nyamperin matahari dari satu sisi, memandang wajahmu dari segenap jurusan. Puisi 23 Sajak Seorang Tua Untuk Isterinya Rendra Sajak-sajak sepatu tua,1972. Sementara kau kenangkan encokmu kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang dan dengan lega akan kita lunaskan. dan terasing dengan nasib kita Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan. Suka duka kita bukanlah istimewa kerna setiap orang mengalaminya. Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh Hidup adalah untuk mengolah hidup memasuki rahasia langit dan samodra, serta mencipta dan mengukir dunia. kerna tugas adalah tugas. Bukannya demi sorga atau neraka. Tetapi demi kehormatan seorang manusia. Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu. dan harga kita adalah kehormatan kita. Tolehlah lagi ke belakang ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya. Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna. Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita. Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda. bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita. Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara. Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok. Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap. Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma. Kita menjadi goyah dan bongkok kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan. Sementara kaukenangkan encokmu bahwa kita ditantang seratus dewa. Puisi 24 Puisi Doa Di Jakarta melihat hidup yang tergadai, fikiran yang dipabrikkan, dan masyarakat yang diternakkan. Malam rebah dalam udara yang kotor. Di manakah harapan akan dikaitkan bila tipu daya telah menjadi seni kehidupan? Dendam diasah di kolong yang basah siap untuk terseret dalam gelombang edan. Perkelahian dalam hidup sehari-hari tak akan menyelesaikan masalah terpenjara, tanpa jendela. yang bererti empat puluh tahun gaji seorang buruh, sebuah halaman bertaman tanaman hias dengan rumah-rumah tanpa sumur dan Hati manusia telah menjadi acuh, ketika air mata menjadi gombal, dan kata-kata menjadi lumpur becek, aku menoleh ke utara dan ke selatan Di manakah tabungan keramik untuk wang logam? Di manakah catatan belanja harian? Ya, Tuhan yang Maha Hakim, harapan kosong, optimisme hampa. Hanya akal sihat dan daya hidup menjadi peganganku yang nyata. Ibumu mempunyai hak yang sekiranya kamu mengetahui tentu itu besar sekali Kebaikanmu yang banyak ini Sungguh di sisi-Nya masih sedikit Berapa banyak malam yang ia gunakan mengaduh karena menanggung bebanmu Dalam pelayanannya ia menanggung rintih dan nafas panjang Ketika melahirkan andai kamu mengetahui keletihan yang ditanggungnya Dari balik sumbatan kerongkongannya hatinya terbang Berapa banyak ia membasuh sakitmu dengan tangannya Pangkuannya bagimu adalah sebuah ranjang Sesuatu yang kamu keluhkan selalu ditebusnya dengan dirinya Dari susunya keluarlah minuman yang sangat enak buatmu Berapa kali ia lapar dan ia memberikan makanannya kepadamu Dengan belas kasih dan kasih sayang saat kamu masih kecil Aneh orang yang berakal tapi masih mengikuti hawa nafsunya Aneh orang yang buta mata hatinya sementara matanya melihat Wujudkan cintaimu dengan memberikan doamu yang setulusnya pada ibumu Karena kamu sangat membutuhkan doanya padamu. Puisi 25 Sajak SLA Rendra Yogya, 22 Juni 1977 Murid-murid mengobel klentit ibu gurunya Karena tidak ada patokan untuk apa saja. Semua boleh. Semua tidak boleh. Tergantung pada amarah dan girangnya sang raja. Tergantung pada kuku-kuku garuda dalam mengatur kata-kata. Ibu guru perlu sepeda motor dari Jepang. Ibu guru ingin hiburan dan cahaya. Ibu guru ingin atap rumahnya tidak bocor. Dan juga ingin jaminan pil penenang, tonikum-tonikum dan obat perangsang yang dianjurkan oleh dokter. Kepada orang tua murid-muridnya Kita bisa mengubah keadaan. Anak-anak akan lulus ujian kelasnya, terpandang di antara tetangga, boleh dibanggakan pada kakak mereka. Soalnya adalah kerjasama antara kita. Jangan sampai kerjaku terganggu, Dan papa-papa semua senang. Di pegang-pegang tangan ibu guru, dimasukan uang ke dalam genggaman, di dalam suasana persahabatan, teteknya disinggung dengan siku. Demikianlah murid-murid mengintip semua ini. Inilah ajaran tentang perundingan, perdamaian, dan santainya kehidupan. Kemajuan akan berjalan dengan lancar. Kita harus menguasai mesin industri. Kita harus maju seperti Jerman, Sekarang, keluarkanlah daftar logaritma. dan mengeluarkan rokok mereka. Karena mengingat kesopanan, Kelas adalah ruangbelajar. Dan sekarang daftar logaritma ! Murid-murid tertawa dan berkata Kami tidak suka daftar logaritma. kalian tidak ingin maju ? Kemajuan bukan soal logaritma. Kemajuan adalah soal perundingan. Jadi apa yang kaian inginkan ? Kami tidak ingin apa-apa. Kami sudah punya semuanya. Kami merokok dengan santai. Sperti ayah-ayah kami di kantor mereka menciptakan suasana girang. Mereka menguasai perundingan. Pandai mengikuti keadaan. menghindari ulangan sejarah. Mereka tertidur di bangku kelas, yang telah mereka bayar sama mahal seperti sewa kamar di hotel. Sekolah adalah pergaulan, yang ditentukan oleh mode, dijiwai oleh impian kemajuan menurut iklan. Dan bila ibu guru berkata Keluarkan daftar logaritma ! Dan di dalam suasana persahabatan, mereka mengobel ibu guru mereka. Puisi 26 Sajak Joki Tobing untuk Widuri Rendra Jakarta, 9 Mei 1977 Dengan latar belakang gubug-gubug karton, aku terkenang akan wajahmu. di atas padang pengangguran. wajah-wajah nelayan keruh, lalu muncullah rambutmu yang berkibaran Kemiskinan dan kelaparan, membangkitkan keangkuhanku. menjadi pelangi di cakrawalaku. Puisi 27 Sajak Seorang Tua Untuk Anaknya Rendra Sementara kau kenangkan encokmu kenangkanlah pula masa remaja kita yang gemilang dan dengan lega akan kita lunaskan. dan terasing dengan nasib kita Kerna soalnya adalah hukum sejarah kehidupan. Suka duka kita bukanlah istimewa kerna setiap orang mengalaminya. Hidup tidaklah untuk mengeluh dan mengaduh Hidup adalah untuk mengolah hidup memasuki rahasia langit dan samodra, serta mencipta dan mengukir dunia. kerna tugas adalah tugas. Bukannya demi sorga atau neraka. Tetapi demi kehormatan seorang manusia. Kerna sesungguhnyalah kita bukan debu meski kita telah reyot, tua renta dan kelabu. dan harga kita adalah kehormatan kita. Tolehlah lagi ke belakang ke masa silam yang tak seorangpun kuasa menghapusnya. Lihatlah betapa tahun-tahun kita penuh warna. Sembilan puluh tahun yang dibelai napas kita. Sembilan puluh tahun yang selalu bangkit melewatkan tahun-tahun lama yang porak poranda. bagaimana kita dahulu tersenyum senantiasa menghadapi langit dan bumi, dan juga nasib kita. Kita tersenyum bukanlah kerna bersandiwara. Bukan kerna senyuman adalah suatu kedok. Tetapi kerna senyuman adalah suatu sikap. Sikap kita untuk Tuhan, manusia sesama, Lihatlah! Sembilan puluh tahun penuh warna Kenangkanlah bahwa kita telah selalu menolak menjadi koma. Kita menjadi goyah dan bongkok kerna usia nampaknya lebih kuat dari kita tetapi bukan kerna kita telah terkalahkan. Sementara kaukenangkan encokmu bahwa kita ditantang seratus dewa. Puisi 28 Sajak Peperangan Abimanyu Rendra Jakarta, 2 September 1977 Ketika maut mencegatnya di delapan penjuru. Sang ksatria berdiri dengan mata bercahaya. di dalam dadanya yang bedah dan berdarah, menjalani kewjiban dan kewajarannya. apakah petani-petani akan tetap menderita, tetap membanjiri rumah pelacuran di kota ? Itulah pertanyaan untuk kita yang hidup. Tetapi bukan itu yang terlintas di kepalanya ketika ia tegak dengan tubuh yang penuh luka-luka. nyanyian angin dan air yang turun dari gunung. Perjuangan adalah satu pelaksanaan cita dan rasa. Perjuangan adalah pelunasan kesimpulan penghayatan. Di saat badan berlumur darah, jiwa duduk di atas teratai. dan mengurap rambut mereka dengan debu, roh ksatria bersetubuh dengan cakrawala agar nanti terlahir para pembela rakyat tertindas Puisi 29 Sajak Seonggok Jagung Rendra Tim, 12 Juli 1975 sang pemuda melihat ladang; para wanita dengan gendongan dan seorang pemuda tamat SLA Tak ada uang, tak bisa menjadi mahasiswa. Hanya ada seonggok jagung di kamarnya. dan ia melihat dirinya terlunta-lunta . Ia melihat dirinya ditendang dari diskotik. Ia melihat sepasang sepatu kenes di balik etalase. Ia melihat saingannya naik sepeda motor. Ia melihat nomor-nomor lotre. Ia melihat dirinya sendiri miskin dan gagal. tidak menyangkut pada akal, tak akan menolong seorang pemuda yang pandangan hidupnya berasal dari buku, dan tidak dari kehidupan. Yang tidak terlatih dalam metode, dan hanya penuh hafalan kesimpulan, yang hanya terlatih sebagai pemakai, tetapi kurang latihan bebas berkarya. Pendidikan telah memisahkannya dari kehidupan. Apakah gunanya pendidikan bila hanya akan membuat seseorang menjadi asing di tengah kenyataan persoalannya ? Apakah gunanya pendidikan bila hanya mendorong seseorang menjadi layang-layang di ibukota kikuk pulang ke daerahnya ? belajat filsafat, sastra, teknologi, ilmu kedokteran, ketika ia pulang ke daerahnya, lalu berkata Di sini aku merasa asing dan sepi ! Puisi 30 Sajak Seorang Tua di Bawah Pohon Rendra Pejambon, 23 Oktober 1977 seorang tua yang berdiri di bawah pohon meranggas, dengan kedua tangan kugendong di belakang, dan rokok kretek yang padam di mulutku. Aku melihat gambaran ekonomi di etalase toko yang penuh merk asing, dan jalan-jalan bobrok antar desa yang tidak memungkinkan pergaulan. Aku melihat penggarongan dan pembusukan. Aku meludah di atas tanah. Aku berdiri di muka kantor polisi. Aku melihat wajah berdarah seorang demonstran. Aku melihat kekerasan tanpa undang-undang. Dan sebatang jalan panjang, penuh kucing-kucing liar, penuh anak-anak berkudis, penuh serdadu-serdadu yang jelek dan menakutkan. Aku berjalan menempuh matahari, menyusuri jalan sejarah pembangunan, yang kotor dan penuh penipuan. Aku mendengar orang berkata Hak asasi manusia tidak sama dimana-mana. Di sini, demi iklim pembangunan yang baik, kemerdekaan berpolitik harus dibatasi. meminta pengorbanan sedikit hak asasi Astaga, tahi kerbo apa ini ! Apa disangka kentut bisa mengganti rasa keadilan ? Di negeri ini hak asasi dikurangi, justru untuk membela yang mapan dan kaya. Buruh, tani, nelayan, wartawan, dan mahasiswa, O, kepalsuan yang diberhalakan, berapa jauh akan bisa kaulawan kenyataan kehidupan. Aku mendengar bising kendaraan. Aku mendengar pengadilan sandiwara. Aku mendengar warta berita. Ada gerilya kota merajalela di Eropa. Seorang cukong bekas kaki tangan fasis, seorang yang gigih, melawan buruh, telah diculik dan dibunuh, oleh golongan orang-orang yang marah. Aku menatap senjakala di pelabuhan. dan rokok di mulutku padam lagi. Aku melihat darah di langit. Ya ! Ya ! Kekerasan mulai mempesona orang. Yang kuasa serba menekan. Yang marah mulai mengeluarkan senjata. Bajingan dilawan secara bajingan. Ya ! Inilah kini kemungkinan yang mulai menggoda orang. Bila pengadilan tidak menindak bajingan resmi, maka bajingan jalanan yang akan diadili. Lalu apa kata nurani kemanusiaan ? Siapakah yang menciptakan keadaan darurat ini ? Apakah orang harus meneladan tingkah laku bajingan resmi ? Bila tidak, kenapa bajingan resmi tidak ditindak ? Apakah kata nurani kemanusiaan ? O, Senjakala yang menyala ! Singkat tapi menggetarkan hati ! Lalu sebentar lagi orang akan mencari bulan dan bintang-bintang ! O, gambaran-gambaran yang fana ! Kerna langit di badan yang tidak berhawa, dan langit di luar dilabur bias senjakala, maka nurani dibius tipudaya. Ya ! Ya ! Akulah seorang tua ! Yang capek tapi belum menyerah pada mati. Kini aku berdiri di perempatan jalan. Aku merasa tubuhku sudah menjadi anjing. Tetapi jiwaku mencoba menulis sajak. Puisi 31 Sajak Gadis dan Majikan Rendra Yogya, 10 Juli 1975 Janganlah tuan seenaknya memelukku. Ke mana arahnya, sudah cukup aku tahu. Aku0„2 bukan ahli ilmu menduga, tetapi jelas sudah kutahu pelukan ini apa artinya­.. Siallah pendidikan yang aku terima. Diajar aku berhitung, mengetik, bahasa asing, bila dipeluk majikan dari belakang, Janganlah tuan seenaknya memelukku. Sedangkan pacarku tak berani selangsung itu. Apakah tujuan tuan, sudah cukup aku tahu, sudah kutahu apa artinya­­ Mereka ajarkan aku membenci dosa tetapi lupa mereka ajarkan Mereka ajarkan aku gaya hidup yang peralatannya tidak berasal dari lingkungan. Diajarkan aku membutuhkan peralatan yang dihasilkan majikan, dan dikuasai para majikan. Alat-alat rias, mesin pendingin, vitamin sintetis, tonikum, segala macam soda, dan ijazah sekolah. Pendidikan membuatku terikat pada pasar mereka, pada modal mereka. Dan kini, setelah aku dewasa. Kemana lagi aku kan lari, bila tidak ke dunia majikan ? Jangnlah tuan seenaknya memelukku. Jangan seenaknya memelukku. Uang yang tuan selipkan ke behaku adalah ijazah pendidikanku Dengan yakin tuan memelukku. Seluruh anggota masyarakat membantu tuan. Mereka pegang kedua kakiku. Mereka tarik pahaku mengangkang. Sementara tuan naik ke atas tubuhku. Puisi 32 Sajak Potret Keluarga Rendra Yogya, 10 Juli 1975. Tanggal lima belas tahun rembulan. Wajah molek bersolek di angkasa. Kemarau dingin jalan berdebu. Ular yang lewat dipagut naga. Burung tekukur terpisah dari sarangnya. Kepada rekannya berkatalah suami itu Semuanya akan beres. Pasti beres. Mengeluhkan keadaan tak ada gunanya. Itulah namanya kehidupan. Apa yang kita punya sudah lumayan. Asal keluarga sudah terjaga, rumah dan mobil juga ada, apa palgi yang diruwetkan ? Anak-anak dengan tertib aku sekolahkan. Yang putri di SLA, yang putra mahasiswa. Di rumah ada TV, anggrek, air conditioning, dan juga agama. Inilah kesejahteraan yang harus dibina. Hanya orang edan sengaja mencari kesukaran. Memprotes keadaaan, tidak membawa perubahan. Salah-salah malah hilang jabatan. Tanggal lima belas tahun rembulan Angin kemarau tergantung di blimbing berkembang. Malam disambut suara halus dalam rumputan. Anjing menjenguk keranjang sampah. Kucing berjalan di bubungan atap. Dan ketonggeng menunggu di bawah batu. Isri itu duduk di muka kaca dan berkata Hari-hari mengalir seperti sungai arak. Tak ada yang jelas di dalam kehidupan. Peristiwa melayang-layang bagaikan bayangan. Tak ada yang bisa diambil pegangan. Suamiku asyik dengan mobilnya padahal hidupnya penuh utang. Semakin kaya semakin banyak pula utangnya. Uang sekolah anak-anak selalu lambat dibayar. Ya, Tuhan, apa yang terjadi pada anak-anakku. Apakah jaminan pendidikannya ? Dahulu ketika remaja hidupnya sederhana, Tetapi kini serba tidak kebenaran. Setiap barang membuatnya berengsek. Padahal harganya mahal semua. Gambar yang sudah jelas juga masih dibenar-benarkan. Sementara TV-nya membuat kegaduhan. Tak ada lagi yang bisa menghiburnya. Gampang pula kambuh bludreknya Makanan dengan cermat dijaga Akulah yang selalu kena luapan. Ia marah karena tak berdaya. Ia menyembunyikan kegagalam. Ia hanyut di dalam kemajuan zaman. Tidak gagah. Tidak berdaya melawannya ! Tanggal lima belas tahun rembulan. Tujuh unggas tidur di pohon nangka Sedang di tanah ular mencari mangsa. Berdesir-desir bunyi kali dikejauhan. Di tebing yang landai tidurlah buaya. Di antara batu-batu dua ketam bersenggama. Sang Putri yang di SLA, berkata Kawinilah aku. Buat aku mengandung. Bawalah aku pergi. Jadikanlah aku babu. Aku membenci duniaku ini. Semuanya serba salah, setiap orang gampang marah. Ayah gampang marah lantaran mobil dan TV Ibu gampang marah lantaran tak berani marah kepada ayah. Suasana tegang di dalam rumah meskipun rapi perabotannya. Aku yakin keluargaku mencintaiku. Tetapi semuanya ini untuk apa ? Untuk apa hidup keluargaku ini ? Apakah ayah hidup untuk mobil dan TV ? Apakah ibu hidup karena tak punya pilihan ? Dan aku ? Apa jadinya aku nanti ? Tiga belas tahun aku belajar di sekolah. Tetapi belum juga mampu berdiri sendiri. Untuk apakah kehidupan kami ini ? Untuk makan ? Untuk baca komik ? Akhirnya mendorong untuk tidak berbuat apa-apa ! Kemacetan mencengkeram hidup kami. Kakasihku, temanilah aku merampok Bank. Pujaanku, suntikkan morpin ini ke urat darah di tetekku Tanggal lima belas tahun rembulan. Atap-atap rumah nampak jelas bentuknya Sumur yang sunyi menonjol di bawah dahan. Akar bambu bercahaya pospor. Keleawar terbang menyambar-nyambar. Seekor kadal menangkap belalang. Sang Putra, yang mahasiswa, menulis surat dimejanya Ayah dan ibu yang terhormat, aku pergi meninggalkan rumah ini. Cinta kasih cukup aku dapatkan. Tetapi aku menolak cara hidup ayah dan ibu. Ya, aku menolak untuk mendewakan harta. Aku menolak untuk mengejar kemewahan, tetapi kehilangan kesejahteraan. Bahkan kemewahan yang ayah punya tidak juga berarti kemakmuran. Ayah berkata santai, santai ! tetapi sebenarnya ayah hanyut dibawa arus jorok keadaan tetapi tidak punya kehormatan. Kenapa ayah berhak mendapatkan kemewahan yang sekarang ayah miliki ini? Hasil dari bekerja ? Bekerja apa ? Apakh produksi dan jasa seorang birokrat yang korupsi ? Seorang petani lebih produktip daripada ayah. Seorang buruh lebih punya jasa yang nyata. Ayah hanya bisa membuat peraturan. Ayah hanya bisa tunduk pada atasan. Ayah hanya bisa mendukung peraturan yang memisahkan rakyat dari penguasa. Ayah tidak produktip melainkan destruktip. Namun toh ayah mendapat gaji besar ! Apakah ayah pernah memprotes ketidakadilan ? Terlalu beresiko, bukan ? Apakah aku harus mencontoh ayah ? Sikap hidup ayah adalah pendidikan buruk bagi jiwaku. Ayah dan ibu, selamat tinggal. Daya hidupku menolak untuk tidak berdaya. Puisi 33 Sajak Sebotol Bir Rendra Pejambon, 23 Juni 1977 dan melihat orang-orang kelaparan. dan mendengar derap huru-hara. Hiburan kota besar dalam semalam, sama dengan biaya pembangunan sepuluh desa ! Peradaban apakah yang kita pertahankan ? Mengapa kita membangun kota metropolitan ? dan alpa terhadap peradaban di desa ? Kenapa pembangunan menjurus kepada penumpukan, dan tidak kepada pengedaran ? Kota metropolitan di sini tidak tumbuh dari industri, Tapi tumbuh dari kebutuhan negara industri asing akan pasaran dan sumber pengadaan bahan alam Kota metropolitan di sini, adalah sarana penumpukan bagi Eropa, Jepang, Cina, Amerika, Australia, dan negara industri lainnya. Dimanakah jalan lalu lintas yang dulu ? Yang neghubungkan desa-desa dengan desa-desa ? Menjadi selokan atau kubangan. Jalanlalu lintas masa kini, mewarisi pola rencana penjajah tempo dulu, adalah alat penyaluran barang-barang asing dari pelabuhan ke kabupaten-kabupaten dan bahan alam dari kabupaten-kabupaten ke pelabuhan. Jalan lalu lintas yang diciptakan khusus, tetapi untuk pedagang perantara dan cukong-cukong. Kini hanyut di dalam arus peradaban yang tidak kita kuasai. Di mana kita hanya mampu berak dan makan, tanpa ada daya untuk menciptakan. Apakah kita akan berhenti saampai di sini ? Apakah semua negara yang ingin maju harus menjadi negara industri ? Apakah kita bermimpi untuk punya pabrik-pabrik yang tidak berhenti-hentinya menghasilkan­­.. harus senantiasa menghasilkan­. Dan akhirnya memaksa negara lain untuk menjadi pasaran barang-barang kita ? Apakah pilihan lain dari industri hanya pariwisata ? Apakah pemikiran ekonomi kita hanya menetek pada komunisme dan kapitalisme ? Kenapa lingkungan kita sendiri tidak dikira ? Apakah kita akan hanyut saja di dalam kekuatan penumpukan yang menyebarkan pencemaran dan penggerogosan terhadap alam di luar dan alam di dalam diri manusia ? Kita telah dikuasai satu mimpi untuk menjadi orang lain. di tanah leluhur sendiri. Orang-orang desa blingsatan, mengejar mimpi, dan menghamba ke Jakarta. Orang-orang Jakarta blingsatan, mengejar mimpi dan menghamba kepada Jepang, Eropa, atau Amerika. Puisi 34 Sajak Tangan Rendra TIM, 3 Juli 1977 Inilah tangan seorang mahasiswa, yang terpegang anderox hostes berumbai, Aku bego. Tanganku lunglai. Di balik pintu ada lagi pintu. Aku masukkan tangan-tanganku ke celana dan aku keluar mengembara. Aku ditelan Indonesia Raya. Tangan di dalam kehidupan Nampak asing di antara tangan beribu. Aku bimbang akan masa depanku. Tangan petani yang berlumpur, tangan nelayan yang bergaram, aku jabat dalam tanganku. Tangan mereka penuh pergulatan Tangan-tangan yang menghasilkan. tidak memecahkan persoalan. gemuk, luwes, dan sangat kuat. Tanganku yang gamang dicurigai, Ketika terbuka menjadi cakar. Aku meraih ke arah delapan penjuru. bercokol tentara atau orang tua. para petani hanya buruh tuan tanah. para nelayan tidak punya kapal. Perdagangan berjalan tanpa swadaya. Politik hanya mengabdi pada cuaca­.. Tetapi tembok batu didepanku. Hidupku tanpa masa depan. Kini aku kantongi tanganku. Aku akan menulis kata-kata kotor Puisi 35 Sajak Mata-mata Rendra Hospital Rancabadak, Bandung, 28 Januari 1978 Ada suara bising di bawah tanah. Ada suara gaduh di atas tanah. Ada ucapan-ucapan kacau di antara rumah-rumah. Ada tangis tak menentu di tengah sawah. Dan, lho, ini di belakang saya Apaa saja yang terjadi ? Aku tak tahu. Aku melihat kilatan-kilatan api berkobar. Aku melihat isyarat-isyarat. Semua tidak jelas maknanya. Raut wajah yang sengsara, tak bisa bicara, Apa saja yang terjadi ? Aku tak tahu. Pendengaran dan penglihatan Ini terjadi karena apa-apa yang terjadi terjadi tanpa kutahu telah terjadi. Aku tak tahu. Kamu tak tahu. kalau koran-koran ditekan sensor, dan mimbar-mimbar yang bebas telah dikontrol. Koran-koran adalah penerusan mata kita. Kini sudah diganti mata yang resmi. Kita tidak lagi melihat kenyataan yang beragam. Kita hanya diberi gambara model keadaan yang sudah dijahit oleh penjahit resmi. Mata rakyat sudah dicabut. Rakyat meraba-raba di dalam kasak-kusuk. Mata pemerintah juga diancam bencana. Mata pemerintah memakai kacamata hitam. Terasing di belakang meja kekuasaan. Mata pemerintah yang sejati Barisan mata-mata mahal biayanya. mirp pandangan mata kuda kereta yang dibatasi tudung mata. Dalam pandangan yang kabur, Rakyat marah, pemerinta marah, semua marah lantara tidak punya mata. Semua mata sudah disabotir. Mata yangbebas beredar hanyalah mata-mata. Puisi 36 Sajak Kenalan Lamamu Rendra Yogyakarta, 21 Juni 1977 Kini kita saling berpandangan saudara. kita memang pernah berjumpa. Sambil berdiri di ambang pintu kereta api, tergencet oleh penumpang berjubel, aku melihat kamu tidur di kolong bangku, dengan alas kertas koran, sambil memeluk satu anakmu, sementara istrimu meneteki bayinya, Pernah pula kita satu truk, duduk di atas kobis-kobis berbau sampah, sambil meremasi tetek tengkulak sayur, dan lalu sama-sama kaget, ketika truk tiba-tiba terhenti kerna distop oleh polisi, yang menarik pungutan tidak resmi. Ya, saudara, kita sudah sering berjumpa, kerna sama-sama anak jalan raya. Orang-orang dipindah kesana ke mari. Bukan dari tujuan ke tujuan. Tapi dari keadaan ke keadaan yang tanpa perubahan. Kini kita bersandingan, saudara. kita memang pernah bertemu. Aku menarik sehelai plastik dari tong sampah tepat pada waktu kamu juga menariknya. Kita saling berpandangan. Kamu menggendong anak kecil di punggungmu. hendak berkata sesuatu­­­.. Lebih dulu tinjumu melayang ke daguku­.. Dalam pandangan mata berkunang-kunang, membawa helaian plastik itu Kamu lapiskan ke atap gubugmu, dan lalu kamu masuk dengan anakmu­.. Sebungkus nasi yang dicuri, Kolong kios buku di terminal Ya, saudara-saudara, kita sama-sama kenal ini, karena kita anak jadah bangsa yang mulia. Hidup macam apa hidup ini. Di taman yang gelap orang menjual badan, agar mulutnya tersumpal makan. Di hotel yang mewah istri guru menjual badan agar pantatnya diganjal sedan. Duabelas pasang payudara gemerlapan, bertatahkan intan permata di sekitar putingnya. celana dalam sutera warna kesumba. Kita sama-sama tertawa mengenang ini semua. kita memang pernah berjumpa. menjilati selangkang wanita, sambil kepalanya diguyur anggur. Ya, kita sama-sama germo, yang menjahitkan jas di Singapura mencat rambut di pangkuan bintang film, dan makan kepiting saus tiram di restoran terhormat. Kerna khayalan dinyatakan, dan kenyataan dikhayalkan, di dalam peradaban fatamorgana. kamu kenal suara batukku. Kamu lihat lagi gayaku meludah di trotoar. Ya, memang aku. Temanmu dulu. Kita telah sama-sama mencuri mobil ayahmu bergiliran meniduri gula-gulanya, dan mengintip ibumu main serong Kita telah sama-sama beli morphin dari guru kita. Menenggak valium yang disediakan oleh dokter untuk ibumu, dan akhirnya menggeletak di emper tiko, di samping kere di Malioboro. kerna kita putra-putra dewa di dalam masyarakat kita. Kekuasaan mendukung kita serupa ganja­ Kita tulis dengan keringat di ketiak, Kitalah gelandangan kaya, yang perlu meyakinkan diri Saudara-saudara, kita sekarang berjabatan. Ya, jangan kamu ragu-ragu, kita memang pernah bertemu. Bukankah tadi telah kamu kenal Kita dulu pernah menyetop lalu lintas, melambaikan poster-poster, dan berderap maju, berdemonstrasi. Kita telah sama-sama merancang strategi di panti pijit dan restoran. secara teliti kita susun jadwal waktu. Bergadang, berunding di larut kelam, sambil mendekap hostess di kelab malam. Kerna begitulah gaya pemuda harapan bangsa. Politik adalah cara merampok dunia. Politk adalah cara menggulingkan kekuasaan, untuk menikmati giliran berkuasa. Politik adalah tangga naiknya tingkat kehidupan. dari becak ke taksi, dari taksi ke sedan pribadi lalu ke mobil sport, lalu helikopter ! Politik adalah festival dan pekan olah raga. Politik adalah wadah kegiatan kesenian. Dan bila ada orang banyak bacot, kita cap ia sok pahlawan. Dimanakah kunang-kunag di malam hari ? Dimanakah trompah kayu di muka pintu ? Kita telah sama-sama berdiri di sini, melihat bianglala berubah menjadi lidah-lidah api, gunung yang kelabu membara, kapal terbang pribadi di antara mega-mega meneteskan air mani di putar blue-film di dalamnya. Ludah menyembur dan melimpah. Waktu melanda dan melimpah. Lalu muncullah banjir suara. Suara-suara di kolong meja. Suara-suara di dalam lacu. Suara-suara di dalam pici. dunia terbakar oleh tatawarna, Warna-warna nilon dan plastik. Warna-warna seribu warna. Ya, kita telah sama-sama menjadi saksi yang kita tidak tahu apa-apa, namun lahir dari perbuatan kita. Puisi 37 Sajak Burung-burung Kondor Rendra Yogya, 1973 Angin gunung turun merembes ke hutan, lalu bertiup di atas permukaan kali yang luas, dan akhirnya berumah di daun-daun tembakau. melihat jejak-jejak sedih para petani buruh yang terpacak di atas tanah gembur namun tidak memberi kemakmuran bagi penduduknya. berumah di gubug-gubug tanpa jendela, menanam bibit di tanah yang subur, memanen hasil yang berlimpah dan makmur namun hidup mereka sendiri sengsara. Mereka memanen untuk tuan tanah yang mempunyai istana indah. Keringat mereka menjadi emas yang diambil oleh cukong-cukong pabrik cerutu di Eropa. Dan bila mereka menuntut perataan pendapatan, para ahli ekonomi membetulkan letak dasi, dan menjawab dengan mengirim kondom. dari parit-parit wajah rakyatku. rakyat negeriku bergerak dengan lunglai, menoleh ke kiri, menoleh ke kanan, di dalam usaha tak menentu. Di hari senja mereka menjadi onggokan sampah, dan di malam hari mereka terpelanting ke lantai, dan sukmanya berubah menjadi burung kondor. Beribu-ribu burung kondor, berjuta-juta burung kondor, bergerak menuju ke gunung tinggi, dan disana mendapat hiburan dari sepi. mampu menghisap dendam dan sakit hati. Burung-burung kondor menjerit. bergema di tempat-tempat yang sepi. Burung-burung kondor menjerit di batu-batu gunung menjerit bergema di tempat-tempat yang sepi Berjuta-juta burung kondor mencakar batu-batu, mematuki batu-batu, mematuki udara, dan di kota orang-orang„ bersiap menembaknya. Puisi 38 Sajak Bulan Purnama Rendra Yogya, 22 Oktober 1976 Bulan terbit dari lautan. Rambutnya yang tergerai ia kibaskan. menyinari gubug-gubug kaum gelandangan Para pencuri bermain gitar. dan kaum pelacur naik penghasilannya. anugerah bagi sopir taksi. bagi tukang kopi di kaki lima. Bulan purnama duduk di sanggul babu. Dan cahayanya yang kemilau membuat tuannya gemetaran. kemari, kamu ! kata tuannya Tidak, tuan, aku takut nyonya ! maka tuannya bertindak masuk dapur Bulan purnama raya masuk ke perut babu. menjadi mimpi yang gemilang. rembulan turun di jalan raya, dan parfum yang tajam baunya. Ia disambar petugas keamanan, lalu disuguhkan pada tamu negara Puisi 39 Nota Bene Rendra Jakarta, Kotabumi, 24 Maret 1978 Lunglai ganas karena bahagia dan sedih, indah dan gigih cinta kita di dunia yang fana. Nyawamu dan nyawaku dijodohkan langit, dan anak kita akan lahir di cakrawala. Ada pun mata kita akan terus bertatapan hingga berabad-abad lamanya. Juwitaku yang cakap meskipun tanpa dandanan Warna-warna kehidupan berpendar-pendar menakjubkan Isyarat-isyarat getaran ajaib menggerakkan penaku. Tanpa sekejap pun luput dari kenangan padamu aku bergerak menulis pamplet, mempertahankan kehidupan. Puisi 40 Hai, Kamu! Rendra Jakarta, 29 Pebruari 1978 Luka-luka di dalam lembaga, intaian keangkuhan kekerdilan jiwa, noda di dalam pergaulan antar manusia, duduk di dalam kemacetan angan-angan. Aku berontak dengan memandang cakrawala. Jari-jari waktu menggamitku. Aku menyimak kepada arus kali. Lagu margasatwa agak mereda. Indahnya ketenangan turun ke hatiku. Lepas sudah himpitan-himpitan yang mengekangku. Puisi 41 Sajak Pulau Bali Rendra Pejambon, 23 Juni 1977. Sebab percaya akan keampuhan0„2 industri dan yakin bisa memupuk modal nasional dari kesenian dan keindahan alam, maka Bali menjadi obyek pariwisata. tanpa basa-basi keyakinan seperti itu, Bali harus dibuka untuk pariwisata. pesawat-pesawat terbang jet sudah dibikin, dan maskapai penerbangan harus berjalan. Harus ada orang-orang untuk diangkut. Harus diciptakan tempat tujuan untuk dijual. Dan waktu senggang manusia, serta masa berlibur untuk keluarga, harus bisa direbut oleh maskapai untuk dibungkus dalam kertas kado, dan disuguhkan pada pelancong. Pesawat terbang jet di tepi rimba Brazilia, di muka perkemahan kaum Badui, di sisi mana pun yang tak terduga, lebih mendadak dari mimpi, merupakan kejutan kebudayaan. Inilah satu kekuasaan baru. Begitu cepat hingga kita terkesiap. Begitu lihai sehingga kita terkesima. Dan sementara kita bengong, pesawat terbang jet yang muncul dari mimipi, membawa bentuk kekuatan modalnya lapangan terbang. hotel bistik dan coca cola, jalan raya, dan para pelancong. Lihat orang-orang pribumi itu! Mereka memanjat pohon kelapa seperti kera. Fantastic ! Kita harus memotretnya ! Awas ! Jangan dijabat tangannya ! senyum saja and say hello. Siapa tahu ada telor cacing di situ. My God, alangkah murninya mereka. Ia tidak menutupi teteknya ! Look, John, ini benar-benar tetek. Lihat yang ini ! O, sempurna ! Mereka bebas dan spontan. Aku ingin seperti mereka­.. Okey ! Okey !­.Ini hanya pengandaian saja. Aku tahu kamu melarang aku tanpa beha. Look, now, John, jangan cemberut ! Berdirilah di sampingnya, selalu tertarik membantu negara miskin untuk membuat proyek raksasa. Artinya yang 90 % dari bahannya harus diimpor. atau kemajuan penyalur dan pemakai. hotel-hotel pribumi bangkrut digencet oleh packaged tour. Kebudayaan rakyat ternoda digencet standar dagang internasional. Tari-tarian bukan lagi satu mantra, tetapi hanya sekedar tontonan hiburan. Pahatan dan ukiran0„2 bukan lagi ungkapan jiwa, tetapi hanya sekedar kerajinan tangan. Hidup dikuasai kehendak manusia, tanpa menyimak jalannya alam. Kekuasaan kemauan manusia, yang dilembagakan dengan kuat, tidak mengacuhkan naluri ginjal, hati, empedu, sungai, dan hutan. pantai, gunung, tempat tidur dan pura, Sumber Puisi Penyair Terkenal Hai teman, Balik lagi nih bareng IMYID, gak disangka - sangka ternyata beberapa postingan mengenai puisi dan prosa banyak di cari oleh kalian semua. Jadi dikesempatan pada januari 2020 yang berbahagia ini, IMYID kembali dengan beberapa postingan dengan tema bahasa Indonesia setelah hampir 2 tahun IMYID tidak update, sekarang akhirnya comeback. hehe IMYID kali ini akan share banyak sekali judul puisi dengan tema "Menyulam waktu" penasaran ? Ini dia beberapa contoh puisi tersebut 18 Contoh Puisi dengan Tema atau Topik Waktu, Menyulam waktu Menyulam waktu Perempuan itu nyatanya terlalu menginginkan hujan Ingin mendekap, dalam-dalam Sayangnya, hujan enggan cepat didekap Ia harus menghitung putaran detik di jam dinding kamarnya Berminggu-minggu, berbulan-bulan Sampai bayi merah kini telah merupa mawar merekah "Jangan hanya menunggu, lakukan sesuatu" ucap rintik di satu waktu Maka bila suatu saat nanti hujan tak mau lagi Mengalirkan harap pada dekap Setidaknya dada puan itu telah kuyup oleh gerimis Namun Mata air yang katamu benar bening, nyatanya telah kering oleh sajak yang dituturnya tiap-tiap malam Perempuan itu, telah beku. Sebelum Pulang Sebelum kau benar-benar pergi meninggalkan sepetak kesunyian di tempatku terbaring. Kumohon tinggallah sejenak, meski setengah hari untuk menyulam waktu Agar menjadi sepotong riwayat yang sempurna kita lahirkan, Mengalir indah dalam beberapa jarum waktu dan gerimis yang sangat tajam Memuaikan beberapa nama ke angkasa. Sebelum kau benar-benar pergi meninggalkan aku. Kumohon engkau mengerti perjalanan rinduku Yang terburu oleh waktu. Hanya bayang imajinasi yang bergelayut dalam pikiranku, merajut mimpi yang tersisa Kala dirimu selangkah lebih jauh dariku. Di ranjang ini, aku terbaring dan berdoa Agar kau mau untuk merangkum cerita Di tiap kergesaan menyulam waktu bersamaku. MERAWAT RINDU Masih yang tulus ku rasa sedetik pikiran tanpa tak meluka dengan sebingkai noda paling indah merona "La-la-la-la" denting relungku menjajaki hamparan jiwa Sebuah senyum di ujung waktu penuh rana Mungkin yang setia ku bawa memantik rindu tak bertepi dengan raga merajut waktu kalbu dengan nyawa Apalah sebuah nada "sya-da-du-du-da-da" hayalku tak pernah luput tanpa dia Serbuk detik ku tumpuk Misiu menit ku genggam Debu jam ku jadikan tumpu Tak peduli tampungan tahun yang ku tahu hanya menyulam waktu Hayal bukan berarti ku tak berakal Mati bukan berarti ku tak mampu menari Gila bukan berarti ku tak berdaya Ini hanya ku tak suka bahagia tanpa dia yang selalu di dada, selamanya. Putaran Ambisi Degup jantung menghempas ke seluruh tubuh Memanaskan tujuan tiap kalo tak sejalan Luapkan ambisi seisi tubuh Yang menggoncang ruang putaran Derai langkah terus berjalan Dibelakang waktu Melampaui tiap-tiap keinginan yang mulai memuncak Hingga melupakan sibuknya menuju jalan yang abadi Tanpa pikiran yang tenang Maka hari ini Akan ku sumpah Waktu lah yang selalu menungguku Menantimu Denting demi denting waktu terlalu cepat bergerak. Tetes demi tetes embun terlalu cepat mengering. Sirat demi sirat sinar terlalu cepat tersebar. Namun mataku.. Terbujur kaku menatap satu titik semu pada sebidang pintu itu. Tempat dimana bayang sosoknya tiba. Tempatku berjumpa dengan kehangatan. Butiran debu berbisik mengajakku pergi. Namun kursi tua ini terlalu nyaman untuk ku beranjak. Aku terjebak pada waktu yang enggan menjawab kapan sosok itu tiba. Besitan demi besitan bayangnya temani jenuhku. Buatku semakin enggan tuk bergerak. Ku perangi arus kesunyian. Ku arungi arus kejenuhan. Ku sulam waktu demi waktu. Untuk menghangatkanmu dengan rajutan kasih. Takdirku Sejak menatap dunia, aku bernafas dalam penjara Penjara yang membuatku sekilas nampak remaja Namun bahkan terhadap asa aku hanya menyapa Lalu kau tanpa sengaja melintasi senja Dimana aku sempat mencoba Terbangun dari semua ilusi belaka Yang sering ku anggap nyata Selaksa gemintang menjadi saksi Penantian dalam yang ku simpan di hati Tentang sebuah rasa yang sepi Karena sebuah nama yang tanpa sengaja hinggapi Penjaraku tak lagi senyap Sebab pikirku kini tlah lenyap Ikuti langkah kecilmu yang berderap Hingga Waktu Menyulam Dirinya Tertahun aku tertahan tak berlari ingin berjalan saja tak berani melupa pada terbersitnya pelangi sesudah hujan menyarukan senyummu lekas-lekas ke peraduan Aku rindu, bertemu pada tatap sayu candamu menyunggingkan lekukan mata mengedipkan tanya menggoreskan suka pada harap yang kian melonjak mengikiskan duka pada waktu hingga terasa mati Sekelumit angin menerpa datang tiada kuat tubuh menahan kering yang gersang dahaga, lelah dan lapar menyemukan bayangan sukma, raga, terlukis tertimpah rembulan Aku menunggu, menggengam tanganmu yang bukan ternyata adanya sembilu menyayat sulur-sulur darah dan nadi mengkhayal dipelukmu setinggi istana para peri menggapainya saja butuh triliyunan anak tangga Gelagar terbentang mengokohkan pelatar membangun pondasi meninggikan atap menanti hati menjadi serupa dan sediri biar melumut rambut di badan Aku menengadahkan hati, memilih kasih menyayat kalbu membiarkan pesona menipuku, menanti kau yang telah dimiliki lagi-lagi ... lepas-lepas ... didahului seberkas mentari Aku sungguh ... Matahari yang tak sudi ada mentari yang lain Namun, Diriku hanya merupa setitik air dari samudera pembelenggumu Salahku, tak menemuimu ketika pagi ... Dosaku, menjumpamu sesingkat pagi ... Kebodohanku tak menyadari hingga waktu menyulam dirinya dengan benang tak terbatas engkaulah itu Waktu Rasanya kuingin menyulam waktu. Menatap kembali ke masa lalu. Bercumbu dengan kenangan. Di saat aku ingin memilikimu sepenuhnya. Tanpa memedulikan sesiapapun. Yang terpenting adalah kamu dan aku bersama. Merajut waktu di kala rindu mencuat. Kuingin tetap tinggal di waktu lalu ini. Karena dengan bebas, aku bisa menatapmu di balik gorden ini. Menantimu berjalan menyusuri rumahku. Tertawa indah yang mampu membiusku ke dalam kehangatan. Ah, waktu. Izinkan aku kembali, hanya sekadar mengucap rasa yang tertahan ini. Izinkan aku berjuang memilikinya. Izinkan aku selalu melihat senyum indahnya. Biarkan aku menyulam waktu demi dia. Kurela berkorban demi dia. Ingin kubisikkan kata terindah padanya, bahwa aku mencintainya amat sangat. Penantian Tanpa Ujung Aku masih di sini Menantimu untuk kembali Ulangi kisah yang pernah tertulis Dengan tinta merah pena cintamu Kini setelah kau pergi Hidupku hampa tanpa dirimu Berselimut angin kesunyian Mendekap rindu dalam sendu Awan mendung hiasi wajah Datangkan hujan air mata Luapkan banjir penuh duka Di dalam badai kerinduan Hari-hariku sepi tanpamu Malamku sunyi tanpa dirimu Hatiku panas tidak terkira Dibakar api gejolak rindu Kini diriku telah terjebak Dalam penantian tanpa ujung Berharap dirimu kembali lagi Kau... yang kini telah tiada Selisik Separuh detik Angin datang pada musim klasik Ada Diaroma Seratap duka dalam kurun tanpa masa Pagi itu Angin klasik menerobos dinding Sedang, jarum kecil masih memeluk detik-detik panjang Sepotong kain bernama waktu teronggok Belum selesai sang penyulam bekerja, namun ia sudah merongok Kain itu punyaku Selisik Detik klasik Bisakah aku meminta kau melanjutkan langkah yang belum berirama? Atau, bisakah aku meminta hal sederhana ; Jadilah penyulam waktuku dengan detik-detik panjangmu. Suatu tempat, suatu waktu Aku; Wanita Separuh Baya Adalah aku, wanita separuh baya yang lugu gaya Hilang pesona digerus masa Terbelenggu sepi Terkungkung oleh histori janji Setiap hari hanya menghitung mimpi-mimpi Aku; wanita paruh baya Tinggal separuh nyawa menata eloknya dunia Tak ternyana selama ini dipenjara duka Pada bayang-bayang fatamorgana merajut setia di langit senja Barat Daya Malam-malam semakin mendiam, lalu berlalu Tetapi aku, masih saja menyulam waktu Tak bisa mengubur masa lalu dalam pekatnya kisah-kisah tabu Aha Aha! Aha! Aha! Hari masih sore Tanah masih basah Angin masih mengalir Pernak-pernik yang semula tercecer, kini menyatu dalam rangkaian Benang yang semula tebal, kini tinggal beberapa helai Bohlam yang semula benderang, hanya temaram yang ia sisakan Cinta, Aku di sini Siap menyambutmu dengan segala upaya Menyuguhkan senyum terhangat yang mungkin hanya kau dapati dariku Cinta, Kau masih ingat? Bagaimana cantiknya diriku Saat terakhir kali kau menatapku Sekarang aku lebih cantik, dari bidadari yang mungkin saat ini menemanimu Aku tidak memakai gamis hitam seperti dulu Aku tidak serapuh dulu Ketika kau meninggalkan sebuah ucap 'Sabar' Dan pergi dari gubuk terindah kita Membiarkanku menyulam sendirian Aku baru tersadar, Cinta, itu dulu Aku baru sadar bahwa sore tak pernah lagi ada Tanah sudah mengering Angin sudah berdebu Dan kau tetap tak pulang Membiarkanku dipeluk tangis Yang menghujam sepanjang malam Aku Penyulam Waktu Sunyi memaku larik-larik rindu Dalam dekap erat waktu Kutatap sulaman itu Yang kujalin perlahan dengan benang air mata Bertaburan manik kisah episode lalu Berhamburan helai tanya dukaku "Akankah kisah ini cepat berlalu?" tanyaku pada angin Mozaik kecil serpihan hati melayang pada kibaran angin berembus Masih kusulam bait puisi pasi untukmu Aku penyulam waktu Mengurai kusai detik yang lama merindu Kutunggu setengah kolase hatiku Yang tertinggal entah Dalam album waktumu Lilin Putih Temanku Lilin itu kini menyala Di sini, di bawah pohon ini Menemaniku menunggu puan kembali Lilin itu masih menyala Perlahan meleleh ke bawah Masih terasa sedikit kehangatannya Lilin itu menghiburku Menari bersama angin senja Kadang dinginnya memukul tulangku Lilin itu hampir mati Namun puan belum juga datang Apakah lupa janji tadi pagi? Lilin itu harus tetap menyala Untuk menerangi langkah kakimu Itupun jika kau ingat janjimu Lilin itu benar mati Menutup akhir puisi ini Tanpa bertemu puan sama sekali Lilin benar-benar hilang Sekarang tanpa ada kehangatan Daku meringkuk kedinginan dalam gelap malam Gulma Tak Bernyawa Dia menjelma kerdil Terasing dalam kesepian panjang Dingin, menggigil.. Mendekap angan di tepian petang Dia mengerti, Kepergian, ialah bait terakhir pada puisi Pun tentang waktu tak' pernah berkeluh Membawa kenangan yang tak jua utuh Dia Ialah dirinya, Dalam kisah gulma terluka Menghitung tiap terbit dan terbenam Menunggu takdir menghunus nyawa hingga ke akar Aku Dan Kue Ulang Tahun Hari ini aku merobek kalender baru Belum terlewat Namun mestinya sudah tamat Ini bukan hari yang kutunggu Ketika bayang wajah muncul satu-satu Pecah tangis bayi yang membuncah Dan pijak telapak yang kubimbing mengejarku Hanya sekian tahun kenangan manis senyuman Anak-anak yang menggenggam jemari Hingga ke buaian.... Kini aku memang bangga pada mereka Kedua kaki mereka telah cukup kuat berlari Lebih jauh lagi Lebih tangguh lagi Bahkan jarang datang kembali Kini aku harus tetap bangga Ketika mereka tak punya sisa waktu Sibuk mengejar impian dunia Lupa hari ulang tahun ibunya Esok hari ketika tanggal itu lewat Sekotak kue tart datang "Selamat ulang tahun Bunda" Ujar kartu ucapan Tanpa senyuman Tanpa pelukan Tanpa kerinduan Dan aku harus tetap bahagia Meniup lilin sendirian Atau kubiarkan angin malam yang meniupnya Juga pada sisa air mata Dan keluhan yang sia-sia Sembari melanjutkan sulaman Sebagai kain penghias nisan Siapa tahu mereka lupa Pada tanggal lahir ibunya Kala Rotasi Tak Berbalik Arah Demi masa Ayat Tuhan tlah ingatkan Akankah manusia hargai Perjalanan waktu Rotasi takkan bisa berbalik arah Perbaiki perbuatan yang terlanjur salah Hanya maaf terlontar Saat tersadar Intan berlian takkan bisa beli Berapapun nilainya Tak sekalipun tergantikan Takkan berulang Kala insan meremehkan Abaikan janji Ia tlah kehilangan kepercayaan Tinggalkan bekas lubang Yang tak bisa tertambal Hanya penyesalan datang Di hari kemudian Waktu bukanlah karet Yang bisa diolor Atau dianggap mirip celana kolor Dibuat longgar Agar bisa menghindar Dengan berbagai dalih Alibi ... modus … atau akal bulus Waktu tak bisa disulam Tutupi malu dan sesal Meski sekecil lubang jarum Waktu… Sedetikpun sangat berharga Doa Senjaku Tibalah kita di ambang senja Di rambutmu lembayung saga Menjelma cendera pawana Gemuruh jiwa berkidung merdu Nyanyikan rindu laksana melagu Dalam goresan bait puisi sendu Oh, indahnya senyummu di mataku Kusulam waktu dengan namamu Takkan hilang seumur usiaku Dalam diamku yang bertafakur Berucap doa memanjatkan syukur Untuk cinta yang tak terukur Seduhan Waktu Langit tak segelap. Sekat-sekat jendela, Yang menggigil bersama jemariku. Menjerat yang begitu kukuhnya. Telah tiba waktu pilihan. Berstruktur abstraksi. Di atas setumpuk jarum, Sebagian patah, kuku-kuku. Tak ingat sudah berapa lama, Masa itu berlalu. Kau lambungkan tanganmu, Membantu menadah keringat. Menyulam waktu bersamaku. Aku hanya ada dalam kegelapan hitam dan menggigil. Sertaan kertas putih ini. Coretan terakhir teruntuk diriku. Kau seduh dalam mimpi yang tak terbayang. Helaian ini, Tak akan sempurna. Tapi kau benar-benar sudah tiada. Dalam seduhan waktu, Yang kita sulam bersama dulu.

puisi waktu karya ws rendra